Gema Reformasi dalam Kegelapan Demokrasi


Tag Indonesia Gelap yang ramai di media sosial. (f: ist/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Oleh : T.H. Hari Sucahyo
Aksi demonstrasi "Indonesia Gelap" yang kini tengah marak di berbagai kota di Indonesia menandai gelombang baru protes terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Mahasiswa, yang sejak lama menjadi garda terdepan perlawanan terhadap kebijakan yang dinilai tidak adil, kembali turun ke jalan, mengingatkan kita pada Reformasi 1998. Apakah aksi massa ini bisa menjadi momen kebangkitan baru? Ataukah hanya sekadar riak kecil dalam lautan kebijakan pemerintah yang semakin tak terjangkau oleh suara rakyat?
Mei 1998 dikenang sebagai titik balik sejarah Indonesia ketika suara mahasiswa dan rakyat bergema lantang, menuntut kejatuhan rezim Orde Baru yang represif. Ketidakstabilan ekonomi, ketimpangan sosial, dan praktik korupsi yang merajalela melahirkan gerakan reformasi yang akhirnya berhasil memaksa Soeharto turun dari kursi kepresidenan.
Kini, lebih dari dua dekade setelahnya, gerakan "Indonesia Gelap" kembali muncul dengan semangat serupa, meski dalam konteks yang berbeda. Aksi ini dipicu oleh kebijakan pemerintah yang memotong anggaran di berbagai sektor, termasuk pendidikan, demi mendanai program makanan gratis bagi siswa sekolah. Program yang sejatinya bertujuan baik ini justru menuai kritik karena berpotensi mengorbankan sektor lain yang tak kalah penting, seperti pendidikan tinggi dan pembangunan infrastruktur.
Seperti halnya Reformasi 1998 yang diawali dengan keresahan ekonomi, gerakan ini muncul dalam kondisi serupa. Pada Agustus 2024, tingkat pengangguran pemuda Indonesia mencapai 17,3%. Di tengah situasi ekonomi yang belum stabil, pemotongan anggaran pendidikan semakin memperburuk prospek masa depan generasi muda. Mahasiswa, yang merupakan kelompok paling terdampak, merespons dengan aksi protes yang meluas, menunjukkan bahwa ketidakadilan ekonomi masih menjadi pemicu utama perlawanan rakyat.
"Indonesia Gelap" bukan sekadar simbol protes terhadap kebijakan pemerintah, tetapi juga refleksi dari kondisi demokrasi yang semakin buram. Transparansi kebijakan, partisipasi publik dalam pengambilan keputusan, serta keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan rakyat menjadi isu utama dalam aksi ini.
Di berbagai kota, demonstrasi berlangsung dengan ribuan peserta yang mengenakan pakaian serba hitam, membawa spanduk bertuliskan "RIP Pendidikan" dan "Darurat Pendidikan di Indonesia." Ini bukan hanya bentuk ekspresi ketidakpuasan, tetapi juga kritik tajam terhadap pemerintah yang dianggap gagal dalam membangun kebijakan yang berkelanjutan dan berpihak pada masa depan bangsa.
Tidak hanya itu, aksi ini juga mengusung 17 tuntutan utama, mulai dari pengesahan RUU Masyarakat Adat, penolakan revisi UU TNI dan Polri, hingga evaluasi anggaran dan program pemerintah. Ini menunjukkan bahwa ketidakpuasan masyarakat tidak hanya terbatas pada satu sektor, melainkan mencakup berbagai aspek kehidupan yang semakin terpinggirkan oleh kebijakan pemerintah yang dinilai tidak efektif dan tidak inklusif.
Sejauh ini, pemerintah belum memberikan respons yang cukup memadai terhadap tuntutan aksi "Indonesia Gelap." Presiden Prabowo Subianto masih belum memberikan pernyataan resmi, sementara beberapa pejabat hanya menyatakan bahwa tuntutan demonstran sedang dipelajari. Hal ini mengingatkan kita pada tahun-tahun menjelang Reformasi 1998, ketika pemerintah cenderung meremehkan suara mahasiswa hingga akhirnya gelombang protes tak terbendung.
Perbedaan utama antara aksi saat ini dan Reformasi 1998 adalah tujuan akhirnya. Jika pada 1998 mahasiswa menuntut perubahan sistem pemerintahan dan reformasi menyeluruh, maka "Indonesia Gelap" lebih berfokus pada kebijakan spesifik yang dirasa merugikan rakyat. Namun, jika pemerintah tetap bersikap pasif dan tidak memberikan solusi konkret, bukan tidak mungkin aksi ini akan berkembang menjadi gerakan yang lebih besar dan berjangka panjang.
Gerakan "Indonesia Gelap" adalah alarm bagi pemerintah untuk lebih peka terhadap aspirasi rakyat. Kebijakan yang dibuat tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang dan tanpa melibatkan partisipasi publik hanya akan menambah daftar panjang kegagalan dalam tata kelola negara.
Untuk meredam ketegangan dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar bermanfaat bagi rakyat maka Pemerintah harus membuka ruang diskusi yang lebih luas dengan mahasiswa dan perwakilan masyarakat untuk mendengarkan langsung aspirasi mereka. Dialog yang konstruktif dapat menjadi solusi terbaik untuk menemukan titik temu tanpa harus melalui eskalasi konflik yang lebih besar.
Setiap kebijakan yang berdampak besar pada masyarakat harus melalui proses evaluasi yang transparan dan dapat diakses publik. Pemotongan anggaran di sektor pendidikan, misalnya, harus disertai dengan kajian yang jelas mengenai dampaknya serta alternatif solusi yang lebih baik. Demonstrasi adalah bagian dari demokrasi. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa kebebasan berpendapat tetap dijamin tanpa adanya tindakan represif yang dapat memperburuk situasi.
Pemerintah perlu lebih bijak dalam mengelola anggaran negara dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak malah memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi. Program yang baik harus tetap memperhitungkan keseimbangan dengan sektor lain yang tidak kalah penting. "Indonesia Gelap" bukan sekadar aksi spontan, tetapi manifestasi dari akumulasi kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro-rakyat.
Dalam sejarah Indonesia, gerakan mahasiswa sering kali menjadi pemicu perubahan besar. Apakah aksi ini akan menjadi momen kebangkitan baru atau hanya sekadar riak kecil tergantung pada bagaimana pemerintah merespons tuntutan yang diajukan. Jika pemerintah belajar dari sejarah, mereka akan memahami bahwa mengabaikan suara rakyat hanya akan memperbesar gelombang perlawanan. Sebaliknya, dengan respons yang tepat dan solusi yang konkret, aksi ini bisa menjadi momentum perbaikan kebijakan yang lebih inklusif dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Peminat bidang Sosial, Politik, dan Humaniora
- Penggagas Lingkar Studi Adiluhung dan Kelompok Studi Pusaka AgroPol
PREVIOUS ARTICLE
KP2H: Wesly-Herlina Tak Berpihak ke Pedagang Pasar Tradisional