31.8 C
New York
Tuesday, July 16, 2024

Polemik Kratom, Tanaman Rimba Berjenis Narkotika

Ribuan petani terancam pidana
Polemik kratom mengemuka setelah Badan Narkotika Nasional (BNN) menyuarakan rencana untuk memasukkan kratom ke dalam narkotika golongan 1. Ribuan masyarakat petani Kalimantan yang menanam hingga mengonsumsi kratom bisa terancam hukuman pidana jika aturan tersebut disahkan.

BNN sejak 2019 telah mengampanyekan kratom masuk dalam narkotika golongan psikotropika layaknya ganja. BNN juga telah mengeluarkan sikap resmi lembaga dalam sebuah surat yang dikirim ke sejumlah instansi terkait. Surat tersebut ditandatangani oleh Kepala BNN 2018-2020 Heru Winarko.

Baca juga:Polres Simalungun Temukan Ladang Ganja di Dolok Silau, Pemiliknya Kabur

Dalam suratnya, BNN menyebut kratom mengandung senyawa yang berbahaya bagi kesehatan. Pada dosis rendah mempunyai efek stimulan dan dosis tinggi dapat memiliki efek sedatif-narkotika.

Selain itu, senyawa 7-hidroksimitraginin dalam kratom diklaim memiliki efek 13 kali kekuatan morfin yang menimbulkan adiksi, depresi pernapasan, hingga kematian.

Saat ini BNN mencatat terdapat 93 jenis narkotika dan obat berbahaya (narkoba) baru alias NPS. Sebanyak 90 jenis telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 dan 31 Tahun 2023. Sementara tiga jenis lain belum dimasukkan, yakni ketamin, alphapropilaminopentiofenon, dan daun kratom atau mitragyna speciosa.

BNN pun akhirnya meminta masyarakat untuk tidak mengonsumsi atau melakukan aktivitas perdagangan kratom selama masa riset yang telah diinstruksikan oleh Presiden Jokowi, kecuali untuk kepentingan penelitian.

“Kratom memiliki efek samping yang berbahaya bagi tubuh, terlebih jika digunakan dengan dosis tinggi,” ujar Kepala BNN Komjen Marthinus Hukom.

Jokowi telah meminta Kementerian Kesehatan, Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), dan Badan Pengawas Obat Makanan (BPOM) melanjutkan riset manfaat medis daun kratom. Sementara itu Kementerian Perdagangan membenahi regulasi tata kelola niaga, dan Kementerian Pertanian memformulasikan standar kualitas dan kontinuitas produksi kratom sebagai syarat utama peningkatan ekspor dan kesejahteraan petani.

BRIN sendiri telah menyelesaikan penelitian awal terkait kratom yang berjalan sejak pertengahan 2022 hingga akhir Agustus 2023. Hasil penelitian tersebut sudah dikirim ke Kantor Staf Presiden (KSP) dan didistribusikan ke kementerian/ lembaga terkait.

BRIN mengatakan bahwa kratom punya sifat analgesik (pereda nyeri) yang cukup baik dan tidak jauh berbeda dengan morfin. Morfin memang memiliki tingkat analgesik yang lebih tinggi dari kratom, tapi kratom punya durasi menghilangkan rasa sakit yang lebih lama.

Namun, kratom dikhawatirkan memiliki efek psikotropika jika dikonsumsi dalam jumlah banyak. Itulah BRIN masih butuh melakukan penelitian lebih lanjut terkait dosis aman penggunaan kratom serta pengujian apakah kratom bisa menjadi obat untuk pasien ketergantungan obat.

Baca juga:Polisi Tangkap Dua Tersangka dalam Operasi Gerebek Kampung Narkoba

Sementara itu Kementerian Kesehatan terus memantau perkembangan terutama terkait efek samping di masyarakat yang mengonsumsi kratom. Memang sejauh ini, Kemenkes belum menerima laporan efek fatal atas konsumsi kratom.

Keberadaan kratom boleh dibilang sudah mengakar terutama di rimba Kalimantan dan pada akhirnya menjadi polemik dan harus dicari jalan keluarnya.

Dalam kesepakatan Kemenkes, BRIN, dan BPOM melanjutkan riset tentang keamanan kratom. Harapannya, riset ini akan rampung pada Agustus 2024, untuk kemudian ditindaklanjuti dengan penetapan status tanaman dan pematangan regulasi tata kelola niaga komoditas kratom. (cnn/hm06)

Related Articles

Latest Articles