24.3 C
New York
Friday, July 5, 2024

Mengingat Kembali Tragedi Berdarah Tanjung Priok 12 September 1984

“Yang menjadi poin penting peristiwa ini saat anggota TNI, Hermanu yang memerintahkan salah satu warga Tanjung Priok untuk melepas spanduk yang berisi kritikan pada pemerintah,” jelas Rakha lagi.

“Secara penilaian, orde baru tidak menerapkan kebebasan dalam berpendapat, pemerintah tidak mau di kritik. Dan juga dipicu dengan Hermanu yang memasuki masjid mengenakan sepatu saat melepas spanduk yang ia permasalahkan, itulah yang membuat warga sekitar marah,” tambahnya.

Dilansir dari Wikipedia dan situs informasi lainnya, hal-hal tersebut di atas merupakan rentetan yang menjadi sebab akibat insiden tersebut terjadi.

Bermula dari Masuk Masjid dengan Alas Kaki

Kerusuhan ini berawal pada tanggal 8 September 1984 di Masjid As-Saadah di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Terjadi cekcok antara seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa) dengan warga setempat.

Baca Juga: Yonif 123/RW Amankan 28 Pengguna Narkoba

“Pada saat itu, Babinsa meminta pengurus masjid, Amir Biki untuk melepas spanduk dan brosur yang tertempel di area masjid lantaran tidak menganut paham Pancasila dan mengkritik pemerintah,” ujar Rakha Bimantara.

Asas Pancasila semakin kuat selama pemerintahan orde baru dalam 32 tahun kepemimpinan Presiden Soeharto. Pemerintah sangat melarang adanya paham-paham anti Pancasila atau tidak sejalan dengannya.

Keesokan harinya, ternyata Amir Biki tak kunjung melepas spanduk dan brosur tersebut. Seorang oknum tentara yang merupakan petugas Babinsa Sersan Satu Hermanu, akhirnya mencopot sendiri spanduk dan brosur yang dipermasalahkan itu.

Namun, saat hendak mencopot spanduk yang dipasang di dalam masjid As-Sa’adah, Sertu Hermanu masuk dengan mengenakan alas kaki. Perbuatan itu dinilai sebagai penghinaan terhadap ajaran Islam.

Related Articles

Latest Articles