Jakarta, MISTAR.ID
Kebijakan pemerintah menghapus kelas 1, 2 dan 3 BPJS Kesehatan dengan pelayanan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) menuai polemik, baik terhadap rumah sakit dan juga bagi peserta BPJS Kesehatan.
Sebagaimana diketahui, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang diteken Jokowi pada Rabu (8/5/24) lalu, mewajibkan pihak rumah sakit membenahi pelayanan dengan merujuk 12 ketentuan.
Adapun 12 kriteria itu antara lain, komponen bangunan yang digunakan tidak memiliki tingkat porositas yang tinggi, ventilasi udara, pencahayaan ruangan, dan kelengkapan tempat tidur.
Baca juga: Penerapan KRIS BPJS Kesehatan Mimpi ‘Buruk’ Buat Pihak Rumah Sakit
Kemudian, adanya nakas per tempat tidur, temperatur ruangan, ruang rawat dibagi berdasarkan jenis kelamin, anak atau dewasa, serta penyakit infeksi atau noninfeksi, dan kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat tidur.
Selanjutnya tirat/partisi antar tempat tidur, kamar mandi dalam ruangan rawat inap, kamar mandi memenuhi standar aksesibilitas, dan outlet oksigen.
Kebijakan ini paling lambat diterapkan mulai 30 Juni 2025. Sementara iuran bagi peserta BPJS Kesehatan akan dibahas 1 Juli 2025.
Adapun iuran BPJS yang berlaku saat ini yaitu kelas 1 sebesar Rp150 ribu/bulan, kelas 2 sebesar Rp100 ribu/bulan, dan kelas 3 sebesar Rp35 ribu/bulan karena mendapatkan subsidi dari pemerintah sebesar Rp7.000 ribu.
Baca juga: Kelas BPJS Kesehatan Dihapus Jadi KRIS, Berikut Untung dan Ruginya
Mengenai besaran iuran terhadap sistem KRIS ini, Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) berharap pemerintah membayar setara biaya rawat tarif kelas 1 BPJS Kesehatan yakni Rp 150 ribu/bulan.
Pengamat Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P Sasmita menilai perubahan skema tersebut sebenarnya untuk menyehatkan keuangan BPJS yang selama ini selalu defisit.
Menurutnya, menghilangkan kasta kelas akan menyederhanakan pelayanan dari rumah sakit sekaligus mengurangi tagihan rumah sakit ke BPJS Kesehatan.
“Karena selama ini tagihan dari kelas premium, satu, dan dua cukup besar karena tingkat layanan yang mereka terima juga layanan terbaik,” katanya pada Rabu (15/5/24).
Ronny mengatakan iuran ideal KRIS belum bisa dinilai sebelum Kementerian Kesehatan membicarakan rencana tersebut dengan sejelas-jelasnya. Namun, apabila ada pemerataan besaran iuran, maka iuran kelas 3 harus dinaikkan.
Baca juga:Peleburan Kelas BPJS Kesehatan Jadi KRIS, Ini Besaran Iurannya
Menurutnya, nilai maksimalnya Rp 75 ribu/bulan atau naik sekitar Rp 40 ribu/bulan. Angka ini menurutnya paling ideal, sebab jika dinaikkan menjadi Rp100 ribu/bulan maka masyarakat yang selama ini bayar Rp 35 ribu/bulan pasti keberatan. Di mana angka kenaikan mencapi Rp 65 ribu/bulan.
Ia mengatakan pemerintah juga harus mempertimbangkan secara matang besaran iuran, jangan sampai membebani peserta dari kalangan menengah ke bawah di tengah daya beli yang terus tertekan.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyampaikan hal senada. Konsekuensi lahirnya aturan baru adalah mengubah besaran tarif atau penyesuaian.
“Saya kira nanti sekitar Rp75 ribu, namun iuran tersebut akan memberatkan kelompok kelas 3 sehingga menyebabkan peserta yang menunggak akan meningkat,” katanya.
Dengan begitu, sambungnya, kelas 1 dan 2 akan membayar lebih rendah sehingga berpotensi menurunkan pendapatan iuran IKN. Akibatnya yang terjadi kembali adalah defisit keuangan BPJS Kesehatan. (mtr/hm17)