19 C
New York
Sunday, October 6, 2024

Sistem Kesehatan Kian Terbebani, Puskesmas Maju ke Garis Depan Hadapi Covid-19

Depok, MISTAR.ID

Segera setelah menjabat pada Oktober 2019, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyoroti urgensi Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) untuk fokus pada pencegahan penyakit dan mempromosikan kesehatan membantu mengurangi beban pada program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilanda defisit negara.

Hanya beberapa bulan kemudian, pusat-pusat kesehatan masyarakat di seluruh negeri melakukan keduanya saat pengawasan kesehatan masyarakat dan memberikan perawatan, tetapi dengan alasan lain; wabah Covid-19.

Staf Puskesmas diharapkan mendidik orang tentang penyakit ini, melacak kontak, memantau kasus-kasus yang dicurigai dan melakukan tes cepat, sambil merawat pasien Covid-19 tanpa alat pelindung diri (APD) yang memadai, sehingga berisiko terpapar pada ancaman yang tak terlihat.

“Awalnya, kami harus menggunakan jaket dan celana tebal. Kami harus menjaga jarak, tanpa kontak fisik dengan pasien kami, ” kata dokter umum Christine Yulius (40) satu-satunya dokter residen di sebuah puskesmas di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Baru-baru ini APD didistribusikan ke pusat kesehatan, meskipun pasokannya tidak termasuk gaun medis atau jas hazmat.

Kekurangan APD juga telah dilaporkan di banyak puskesmas di seluruh negeri, menurut direktur jenderal pelayanan kesehatan Kementerian Kesehatan, Bambang Wibowo.

Bambang mengatakan pekan lalu di sebuah teleconference bahwa di tengah “ketersediaan terbatas” alat pelindung, pusat kesehatan masyarakat diharapkan untuk menggunakan peralatan secara efisien, untuk menyelamatkan (peralatan) sambil dilindungi dari risiko Covid- 19, di tengah peran utama mereka dalam perang Indonesia melawan epidemi.

“Puskesmas memiliki peran yang sangat besar dan perlu […] dari pencegahan hingga penyaringan hingga tanggapan,” katanya.

Dengan populasi sekitar 267 juta orang di seluruh kepulauan yang luas, puskesmas telah menjadi tulang punggung sistem layanan kesehatan nasional bahkan sebelum wabah, berurusan dengan tiga beban penyakit: penyakit menular seperti HIV / AIDS, penyakit tidak menular seperti diabetes dan jantung penyakit, dan muncul kembali penyakit menular seperti malaria.

Menurut data Kementerian Kesehatan tahun 2018, negara itu memiliki 2.813 rumah sakit, beberapa di antaranya saat ini kewalahan oleh lonjakan pasien, dan 9.993 puskesmas, banyak di desa-desa pesisir terpencil dan daerah pedalaman.

Pusat kesehatan masyarakat biasanya memiliki beberapa dokter umum, setidaknya satu dokter gigi, beberapa perawat dan bidan, dan memiliki fasilitas dan peralatan yang terbatas dibandingkan dengan rumah sakit. Data menunjukkan bahwa 3.623 puskesmas juga menyediakan perawatan rawat inap.

Meskipun lama menunggu, orang-orang berduyun-duyun ke puskesmas di mana mereka dapat mencari pengobatan gratis untuk 144 jenis penyakit dan mendapatkan rujukan rumah sakit jika perlu di bawah program JKN. Asuransi kesehatan nasional mencakup sekitar 80 persen populasi, atau sekitar 222 juta orang Indonesia.

Akan tetapi, epidemi Covid-29 telah memengaruhi hampir setiap cara puskesmas beroperasi, khususnya di daerah yang sekarang merawat orang yang diawasi (ODP) dan pasien yang diawasi (PDP).

Staf medis telah dipecah menjadi beberapa tim untuk pendidikan publik, pelacakan kontak dan perawatan pasien, sementara beberapa puskesmas telah menyisihkan ruang dalam fasilitas terbatas mereka untuk merawat pasien Covid-19 secara terpisah dari pasien dengan penyakit pernapasan lainnya.

Beberapa dokter puskesmas mengatakan kepada The Jakarta Post bahwa mereka sekarang meresepkan obat untuk pasien rawat jalan berdasarkan gejala yang dilaporkan tanpa pemeriksaan rutin untuk menghindari menghirup tetesan oral atau hidung, melalui mana virus korona ditularkan.

Di beberapa daerah, puskesmas secara berkala menjalankan posyandu (pos kesehatan masyarakat) untuk menyediakan perawatan dasar anak, program imunisasi, perawatan antenatal, serta program kesehatan dan kebersihan.

Posyandu ini dan program kesehatan masyarakat lainnya kini telah ditangguhkan untuk mencegah kerumunan besar yang dapat membantu menyebarkan virus.

Seorang dokter puskesmas di Sidoarjo, Jawa Timur, yang meminta anonimitas, mengatakan kepada Post bahwa mereka menyarankan pasien untuk tidak mengunjungi pusat-pusat kecuali benar-benar diperlukan.

Ini tidak hanya untuk mencegah penularan virus, tetapi juga karena beberapa petugas medis telah ditugaskan untuk menghubungi pelacakan dan dengan demikian tidak tersedia untuk melihat pasien.

Kepala Badan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Sidoarjo, M. Athoillah, yang sekarang mengepalai 22 tim pelacak kontak yang kuat di kabupaten, mengatakan bahwa tidak mudah untuk melacak kontak, dan bahwa melibatkan puskesmas adalah pusat dalam mendekati para pemimpin masyarakat untuk mencapai jangkauan yang lebih baik.

Athoillah mengatakan bahwa staf puskesmas diharapkan melacak dan memantau orang-orang yang telah melakukan kontak langsung dengan pasien Covid-19 atau yang telah melakukan perjalanan dari daerah-daerah dengan transmisi lokal untuk mencegah kepanikan publik. Dalam beberapa kasus, alamat rumah pasien tidak akurat, karena stigma menargetkan orang dengan Covid-19.

“Kepala unit lingkungan dan komunitas [RT dan RW] menjadi paranoid,” katanya. “Ketika warga pulang dari Malaysia atau Jepang, mereka bertanya kepada kami apakah mereka perlu melaporkan [mereka] ke polisi,” kata Deborah Johana Rattu, yang mengepalai sebuah puskesmas di Bandung, Jawa Barat.

“Tantangan kami adalah agar orang bebal yang tidak mau mengubah cara pandang mereka tentang Covid-19,” katanya.
Stigma sosial seputar Covid-19 telah menyebabkan masyarakat mengusir pekerja medis dari lingkungan mereka dan menolak penguburan orang yang telah meninggal karena penyakit di pemakaman lokal.

Sementara itu, hoax dan informasi yang salah tentang penyakit ini beredar dengan mudah secara online, mendorong gugus tugas Covid-19 negara itu untuk melawan infodemik dengan mengirim pesan-pesan yang meminta masyarakat menerima pemakaman ini.

Isu mudik (exodus) yang menjulang juga telah menimbulkan kekhawatiran di antara staf puskesmas di daerah yang lebih kecil. Jika pemerintah tidak memberlakukan larangan perjalanan domestik, praktik tahunan orang-orang yang kembali ke kampung halaman mereka untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga mereka dapat menyebarkan penyakit ini lebih jauh.

Dina Nofitria, 36, satu dari dua dokter di sebuah puskesmas di Tulungagung, Jawa Timur, mengatakan bahwa itu adalah tantangan untuk mempertahankan moral di antara sesama profesional medis, terutama ketika puluhan dokter dan perawat di daerah lain meninggal karena Covid-19.

“Beberapa meminta cuti, ketika mereka benar-benar hanya takut. Ketika salah satu dari kami merasa sedih, kami ingin saling mengangkat sehingga kami dapat berani menghadapi situasi ini,” katanya.

Dina dan staf puskesmas lainnya juga bertugas memantau ODP dan PDP selama masa inkubasi virus, yang mereka coba lakukan secara online untuk meminimalkan kontak fisik.

Dengan meningkatnya risiko terkena virus, Dina mengatakan dia juga harus menjaga jarak fisik di rumah, termasuk anaknya yang berusia 6 tahun, yang terus meratap, ingin pelukan darinya.*

Sumber : The Jakarta Post
Penerjemah : Julyana Ang
Editor : Herman

Related Articles

Latest Articles