Medan, MISTAR.ID
Pembatasan berekspresi bagi perempuan adat dalam mempertahankan wilayah asal usul leluhurnya masih semakin terancam terkhusus pada saat terjadinya konflik agraria suatu wilayah. Penolakan-penolakan terhadap perempuan adat dalam berpendapat akibat sistem patriarki yang masih kuat dan banyak.
“Jadi ketika perempuan adat mau berpendapat dan mau berekspresi itu selalu menjadi tantangan besar bagi perempuan adat. Di mana dalam komunitas adat banyak penolakan-penolakan dalam ruang pengambilan keputusan yang didapatkan dari ketua-ketua adat,” jelasnya.
Selain itu Meiliana menyampaikan bahwa hingga saat ini di lingkungan sosial pendidikan, perempuan dikatakan tidak dibutuhkan.
“Menurut kami perempuan adat ilmu dan pengetahuan formal hanyalah identitas yang menunjukkan kita memiliki ilmu pengetahuan. Tapi bagi perempuan adat ilmu pengetahuan itu adalah menanam, menenun, menganyam dan bagaimana mengelola alam dan itu adalah pengetahuan perempuan,” katanya.
Meiliana juga mengaku bahwa beberapa waktu lalu setelah Covid-19, perempuan adat mengalami perlawanan yang cukup keras dari aparat negara yang ingin menguasai wilayah adat mereka, tanpa melihat kebutuhan masyarakat adat.
“Di mana bagi kami perempuan adat, hutan sebagai ruang hidup bagi kami, dan tanah adalah wilayah hidup kami. Di hutan adat di situlah supermarket bagi kami seperti bahan makanan, sayuran, ikan itu bisa kami dapatkan,” ungkapnya
Dalam hal ini Meiliana berharap perempuan adat untuk terus mendorong kampungnya agar tidak dikuasai oleh pemerintah contohnya di Deli Serdang, untuk pembangunan proyek strategis nasional.
“Sehingga pada beberapa tahun lalu ada masyarakat adat yang mendapat pengakuan dan SK terhadap keberadaan masyarakat adat. Kami berharap juga mendapatkan hal yang sama,” tukasnya. (dinda/hm17)