Medan, MISTAR.ID
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, menyatakan bahwa saat ini Indonesia sedang darurat kekerasan seksual terhadap anak.
Menanggapi hal itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Medan, Sierly Anita Gafar, mengatakan, angka kekerasan seksual sebenarnya sudah cukup tinggi sejak dulu. Namun, banyak yang tidak terdata karena kurangnya kesadaran masyarakat untuk melaporkannya.
“Meningkat karena sekarang teknologi sudah mendukung sehingga kita mendapat informasi untuk melaporkan kekerasan seksual,” katanya saat berkunjung ke kantor Harian Mistar, di Jalan Kejaksaan No.5EE, Kamis (19/12/24).
Baca juga:Kasus Dugaan Kekerasan Seksual oleh Disabilitas IWAS di Mataram
Selain itu, lanjut Sierly, kesadaran masyarakat terkait kekerasan seksual yang terjadi di sekitar juga semakin meningkat.
“Dulu tidak tau bahwa ternyata hal sepele sebenarnya adalah kekerasan seksual. Misalnya catcalling atau kata-kata yang memiliki hasrat seksual. Melapor sekarang bukan hanya offline tapi juga online, sehingga ini juga merupakan jalur bahwa ternyata ini tempat kita mengadu,” jelasnya.
Meski begitu, Sierly mengaku belum bisa memastikan seberapa tinggi tingkat kesadaran maupun kepedulian masyarakat terkait kekerasan seksual saat ini.
Baca juga:DPPPA Simalungun Lakukan Pendampingan Korban Kekerasan Seksual Anak di Silou Kahean
“Karena masih banyak kasus-kasus, di mana korban atau orang lain yang mengetahui bahwa ini merupakan kekerasan dan sudah tau kemana harus melapor, tapi dia memilih tidak melapor karena takut dan gelisah,” ucapnya.
Sierly menjelaskan bahwa kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, tetapi juga bisa melibatkan teman sebaya mereka sebagai pelaku.
Ada berbagai faktor yang menyebabkan anak-anak dapat menjadi pelaku kekerasan seksual tersebut, antara lain lingkungan rumah dan sekitarnya.
“Karena tidak semua rumah tangga punya persoalan dan kehidupan yang sama. Misalnya, korban mengalami kekerasan seksual karena ibu atau ayahnya juga pernah menjadi pelaku. Potensi menjadi korban atau pelaku bisa dari saat masih kecil,” urainya.
Baca juga:Kekerasan Seksual Anak oleh Keluarga, Pengamat: Gunung Es yang Jarang Terkuak
Peran orang tua dan lingkungan sangat penting untuk menghindari terjadinya kekerasan seksual pada anak.
“Kami menerapkan kesetaraan semua orang sama, bagaimana jika korban sebatang kara? Apa tidak boleh dilindungi? Tentu boleh. Jadi tidak dilihat dari satu jenis kelamin saja dan tidak dilihat dari satu latar belakang saja,” katanya.
Untuk mengurangi angka kekerasan seksual ini, Sierly berharap, agar ada kepedulian dari masing-masing individu.
“Kita yang harus aware, kita semua. Harus kenali, ketika sudah kenal maka itu termasuk ke dalam pencegahan. Jangan dikira kita sudah aman tidak melakukan kekerasan malah justru kita pelaku, kadang korban juga bisa menjadi pelaku,” pungkasnya. (amita/hm17)