22.2 C
New York
Thursday, August 29, 2024

Ganti Menteri Ganti Kurikulum, Begini Tanggapan Akademisi

Medan, MISTAR.ID

Kalimat ‘Ganti Menteri Ganti Kurikulum’ pasti sudah tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Banyak masyarakat percaya bahwa perubahan kurikulum terjadi karena adanya pergantian menteri.

Benarkah demikian? Lantas bagaimana nasib kurikulum saat ini di tengah pergantian presiden ke depannya. Hal ini menjadi pertanyaan baik dari kalangan siswa maupun mahasiswa. Mungkinkah kurikulum akan berganti seiring pergantian presiden dan menteri?

Dosen jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Medan (Unimed), Najuah, mengatakan kemungkinannya adalah tidak ada pergantian pada esensi dari kurikulum yang sedang dan akan berlaku kemudian.

“Perubahan kurikulum dalam pandangan perkembangan pendidikan adalah sebuah keharusan dan kebutuhan, jadi bukan dilihat dari siapa yang merubah,” katanya melalui pesan tertulis kepada Mistar, Kamis (29/8/24).

Jika berkaca dari sejarah perkembangan kurikulum dari masa ke masa, lanjutnya, perubahan itu selalu mengikuti perubahan pada kebutuhan manusia itu sendiri.

Kurikulum Merdeka (Kumer) jika dilihat dari paradigma pendidikannya sangat sesuai dengan bagaimana filosofi Ki Hajar Dewantara, lebih memanusiakan manusia jika dilihat dari konteks pembelajaran.

Baca juga:Lapangan Bisbol Universitas Syiah Kuala Siap untuk PON 2024

Peserta didik belajar sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan belajarnya, pembelajaran berdiferensiasi semakin memberikan makna akan kemanusiaan.

“Jika kita berkaca dari kurikulum sebelumnya di tingkat Satuan Pendidikan sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda. Fokusnya adalah peserta didik, guru sebagai motivator, fasilitator yang mendampingi peserta didik belajar, membimbing bagaimana mereka dapat belajar,” terangnya.

Baca juga:MK Putuskan Partai Tanpa Kursi di DPRD Bisa Usung Calon Kepala Daerah

“Nah di Kumer ini dikuatkan kembali. Jadi, apakah kemungkinan berganti? Jawabannya kalau dari sisi istilah atau penamaan saja mungkin berganti namun secara esensi kemungkinan tidak,” sambungnya lagi.

Meski demikian, akademisi Unimed ini mengatakan bahwa masih banyak hal yang perlu diperhatikan pemerintah terkait implementasi Kurikulum Merdeka belajar, khususnya di perguruan tinggi.

“Pada program PMM (Pertukaran Mahasiswa Merdeka) seharusnya ada kriteria tertentu untuk penentuan program studi (prodi) yang dituju.

Berdasarkan contoh kasus yang terjadi, sambungnya, mahasiswa berasal dari prodi akreditasi Unggul melaksanakan PMM di prodi akreditasi B. Secara internal kurang sesuai dengan Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL) prodi asal.

“Dan masih terjadi bahkan beda bidang studi, sering menjadi dilema sendiri bagi dosen. Pada program kampus mengajar, mahasiswa sudah bisa ikut program tersebut pada semester 3, sedangkan mahasiswa pada semester tersebut belum memiliki kompetensi pedagogik karena masih mata kuliah dasar yang sudah mereka ambil. Kemudian dikonversi dengan maksimal 20 sks yang mereka “tinggalkan” saat itu,” pungkasnya.

Hal ini, sebutnya, menyulitkan prodi terutama menerapkan kurikulum OBE (Outcome Based Education).

“Program-program tersebut secara pribadi saya sangat mendukung namun perlu perbaikan-perbaikan dari sisi koordinasi antara kementerian dengan prodi asal mahasiswa itu sendiri, dan penyesuaian prodi harus melakukan perubahan secara cepat menanggapi perubahan tersebut,” tutupnya. (susan/hm06)

Related Articles

Latest Articles