“Akta ganti rugi itu bukan lebih lemah dari sertifikat, karena sistem kita negatif sertifikatnya, tidak kuat. Kan yang dituntut si pembeli, ni. Pembeli tidak hati-hati memeriksa itu,” tuturnya.
Oleh karena itu, ia meminta Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk benar-benar melihat secara objektif dan menerapkan segala aspek hukum yang berlaku.
“Dari segi perdata bahwa seseorang yang memiliki tanah harus jelas, tanpa itu dicantumkan maka sertifikat yang dikeluarkan itu menjadi cacat,” terangnya.
Tan Kamello juga menjelaskan dalam transaksi jual beli tanah juga harus jelas perikatannya mengenai dari mana asal tanah itu pertama kali hingga siapa terakhir yang berhak atas tanah tersebut.
Baca juga : Sidang Lapangan di PT JBI Digelar, Kuasa Hukum Penggugat Minta PN Medan Tegakkan Keadilan
“Perikatan juga harus jelas. Dari mana diperoleh? Kewenangan siapa? Objeknya harus jelas. Kalau tidak, ini merupakan PMH. Jadi, PMH mewajibkan pihak lain mengganti kerugian atas perbuatan tersebut, baik disengaja maupun lalai,” cetusnya.
Apabila, lanjut Tan Kamello, ada perorang atau kelompok yang terbukti melakukan PMH dalam sengketa pertanahan, maka harus segera meninggalkan objek yang disengketakan tersebut.
“Bahwa orang yang tidak berhak, tidak berwenang, dan melakukan PMH harus didasarkan dengan putusan hakim dan itu harus angkat kaki dari objek sengketa,” ucapnya.