Sunday, January 19, 2025
logo-mistar
Union
EKONOMI

Peta Fiscal 33 Kabupaten Kota se-Sumut Cukup Memprihatinkan

journalist-avatar-top
By
Wednesday, December 28, 2022 16:03
15
peta_fiscal_33_kabupaten_kota_se_sumut_cukup_memprihatinkan

peta fiscal 33 kabupaten kota se sumut cukup memprihatinkan

Indocafe

Pematang Siantar, MISTAR.ID

Secara umum peta fiscal 33 kabupaten kota se-Sumut cukup memprihatinkan. Hanya ada dua daerah yakni kota Medan dan kabupaten Deli Serdang yang kategori fiskalnya sangat tinggi. Dua daerah kategori tinggi yakni kabupaten Simalungun dan Langkat. Lima kategori fiscal sedang yakni kabupaten Asahan, Sergai, Labuhan Batu, Tapsel dan kota Binjai.

Sedangkan kategori rendah ada 10 daerah dan sisanya 13 daerah kategori fiscal sangat rendah. Dari sisi wilayah terlihat peta fiscal wilayah Nias kepulauan mendominasi dengan fiscal rendah. Dari sisi politik pembagian wilayah dapil DPRRI didominasi dapil II dan sebagaian dapil III.

Hal tersebut disampaikan Elpanda Ananda Pengamat Kebijakan Publik dan Anggaran Sumatera Utara, melalui release yang disampaikan kepada mistar.id, Rabu (28/12/22).

Baca juga:Serapan APBD Sumut Rendah, Gubernur Sebut Bisa Berdampak Pada Inflasi

Elpanda juga mengatakan bahwa peran anggota DPR RI belum mampu menggerakkan instrument APBN untuk membantu wilayah ini untuk bangkit. Begitu juga para Bupati dan DPRD kabupaten/ kota di wilayah fiscal sangat rendah dan kategori fiscal rendah belum mampu meningkatkankan peta fiskalnya.

“Untuk pendapatan daerah ada dua daerah yang APBD nya mencapai Rp2,4 hingga Rp6,4 Triliun Rupiah yakni Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang dan Simalungun. Ada tujuh belas daerah yang APBD-nya sebesar Rp1 Triliun hingga Rp1,9 Triliun. Dan ada tiga belas daerah yang APBD-nya antara Rp516 Miliar hingga Rp999 Miliar.

Dalam catatan APBD Kabupaten/Kota se-Sumut tahun 2022 yang diolah oleh Elfenda Ananda dari situs Kementerian Keuangan, dan disampaikannya kepada Mistar, pada Rabu (28/12/22) siang.

“Artinya, masih banyak ketimpangan antara satu daerah dengan daerah lainnya sehingga menyulitkan pemerataan pembangunan antar wilayah. Peran pemerintah provinsi dan pemerintah pusat menjadi penting dalam kesetabilan pembanunan antar wilayah lewat berbagai program,” ujarnya.

Kemampuan keuangan daerah menjadi penting saat menghadapi even politik terutama pilkada serentak tahun 2024, dimana kabupaten/kota harus menanggung pembiayaan pelaksanaan pilkada tersebut.

“Haruskah daerah yang pendapatan daerahnya rendah mengorbankan program pembangunan bidang Pendidikan, Kesehatan dan pembangunan infrastruktur gara-gara harus memikul pembiayaan pilkada. Untuk memperbaiki jalan kabupaten saja sudah sangatlah sulit mendanainya,” tukasnya.

Melihat situasi keuangan daerah ini harusnya pembiayaan pilkada ada kebijakan pemerintah pusat untuk membantu daerah dalam pembiayaannya. Selain itu, daerah harus punya komitmen untuk menabung pembiayaan itu dalam waktu lima tahun dan dimasukkan dalam dana cadangan yang dibuatkan perdanya.

Pendapatan Asli Daerah merupakan kewenangan daerah dalam mengelolanya, tentunya tidak semua daerah sama dalam potensi maupun pengelolaannya. Daerah yang punya kemampuan besar dalam mengelola PAD tentunya cukup punya keleluasaan dalam hal kemandiarian fiscal. Untuk daerah yang potensinya hanya kecil tentunya akan bergantung pada pemerintah yang lebih tinggi yakni pemerintah pusat ataupun provinsi.

Dari data yang diberikannya, Elfenda menyebutkan bahwa hanya ada lima daerah yang PAD-nya antara 20-50 persen yakni Medan 47,5 persen, Deli Serdang 35,2 persen, Binjai 23,3 persen, Sibolga 22,5 persen dan Labuhan Batu 20 persen.

Sedangkan ada dua puluh daerah antara 2-10 persen antara lain Nias Barat 2 persen, Paluta 2,8 persen, Nias Utara 3,7 persen, Nias Selatan 3,9 persen, Pakpak Bharat 3,9 persen, Gunung Sitoli 5,2 persen, Dairi 6,1 persen, Langkat 6,3 persen, Labura 6,4 persen, Madina 6,4 persen, Toba 6,6 persen, Labusel 7,7 persen, Humbang Hasundutan 8,1 persen, Palas 8,1 persen, Nias 8,8 persen, Simalungun 9,1 persen, Karo 9,3 persen, Tapsel 9,4 persen, Tapteng 9,6 persen, Samosir 10,1 persen.

“Artinya, untuk yang dua puluh daerah ini secara keuangan bergantung kepada pemerintah pusat maupun provinsi. Bagaimana secara otonomi daerah ini punya keleluasaan dan pengembangan wilayah masing masing kalau secara keuangan saja mereka sudah ditentukan arahnya lewat bantuan keuangan provinsi dan pusat. Sangatlah disayangkan semangat otonomi tidak tergambar dalam pengelolaan keuangan utamanya kemampuan mencari PAD,” ujarnya.

Belanja pegawai adalah komponen belanja yang rutin dalam bentuk gaji dan tunjangan yang ditetapkan berdasarkan Undang Undang yang diberikan kepada pejabat negara, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah yang belum berstatus PNS sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilaksanakan termasuk kepala daerah dan DPRD serta honorarium non PNS.

Sebagai catatan, untuk komponen belanja pegawai masih mungkin sebenarnya dievaluasi untuk dilakukan efesiensi apabila benar benar antara jumlah pegawai/ non pegawai dihitung dengan besarnya kebutuhan beban kerja. Kalau dilihat ada dua daerah yang belanja pegawainya mencapai 50-58 perse dari total belanja daerah yakni Kabupaten Langkat dan Kota Tanjung Balai.

Artinya, untuk belanja daerah APBD tersebut separuh lebih hanya untuk beban belanja pegawai. Bagaimana mensiasati untuk pembangunan Pendidikan, Kesehatan, bangun jalan kabupaten/kota dan sebagainya. Ada lima belas daerah yang belanja pegawainya antara 41-49 persen. 16 daerah yang persentase belanja pegawainya antara 29-40 persen dari total belanja.

Baca juga:APBD Sumut 2022 Disahkan, Gubsu Optimis Ekonomi Tumbuh 2,4%

Tentu saja belanja pegawai ini penting dalam upaya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Namun, beban kerjanya harus dihitung secara cermat agar bisa digunakan untuk kebutuhan lain yang tidak kalah penting seperti pembangunan Pendidikan, Kesehatan dan bidang lainnya.

Penduduk Miskin, lanjutnya, merupakan bagian yang harus ditanggungjawabi oleh pemerintah daerah, hal ini merupakan perintah UUD 1945 dan berbagai peraturan lainnya termasuk Permendagri yang setiap tahun menjadi pedoman dalam menyusunnya. Seringkali peningkatan belanja daerah tidak selalu berhubungan dengan semakin ditekannya angka kemiskinan.

Belanja daerah dari tahun ketahun meningkat, tapi jumlah orang miskin tidak mampu ditekan jumlahnya. Persentase orang miskin bahkan dalam terminology baru di Permendagri disebut miskin ektrim harus ditekan jumlahnya.

Secara umum dari data table diatas ada empat belas daerah yang persentase kemiskinannya antara 10-27 persen antara lain Nias Barat 26,4 persen, Nias Utara 25,6 persen, Nias Selatan 16, persen, Nias 16,8 persen, Gunung Sitoli 16,4 persen, Tanjung Balai 13,4 persen, Samosir 12,6 persen, Tapseng 12,6 persen, Batu Bara 12,3 persen, Sibolga 12,3 persen, Asahan 11,6 persen, Tebing Tinggi 10,3 persen, Langkat 10,1 persen dan Labura 10 persen.

Dominasi persentase penduduk miskin ada dikepulauan Nias dan Sebagian wilayah pesisir seperti Tanjung Balai, Sibolga dan Tapteng. Tentunya ini menjadi persoalan besar dimana daerah ini diatas rata rata angka kemiskinan provinsi Sumut. Harusnya ini menjadi perhatian pemerintah daerah kabupaten, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Distribusi belanja untuk orang miskin harus dapat mengatasi persoalan yang dihadapi.

Baca juga:Pemko Medan harus Terbuka Turunkan Jabatan 2 Kadis

“Adapun wacana pemekaran wilayah provinsi bukanlah jalan keluar, justeru akan mengamputasi wilayah berpenduduk miskin besar dengan penduduk miskin sedikit. Yang dilakukan adalah distribusi pembangunan harus menyentuh wilayah wilayah yang minus sehingga terjadi pemerataan pembangunan,” tutupnya. (ferry/ril/hm06)

 

journalist-avatar-bottomLuhut

RELATED ARTICLES