15.4 C
New York
Wednesday, April 24, 2024

Pengamat: Perpol 7 Tahun 2022 Perlu Direvisi

Jakarta, MISTAR.ID

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri mendesak untuk direvisi, karena banyak kelemahan-kelemahan yang membuat aturan tersebut inkonsistensi.

“Benar (inkonsisten). Banyak kelemahan-kelemahan yang bisa memunculkan masalah,” kata Bambang saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat (4/11/22).

Sebagaimana diketahui dari sidang pidana menghalangi penyidikan kasus penembakan Brigadir J (obstruction of justice) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tiga terdakwa mengajukan nota keberatan atas surat dakwan jaksa penuntut umum, yakni AKBP Arif Rahman Arifin, Baiquni Wibowo dan Chuck Putranto.

Baca Juga:Kapolri Tegaskan, Polisi Jangan Ghosting Pengaduan

Di dalam nota keberatan AKBP Arif Rahman Arifin yang dibacakan kuasa hukumnya mengatakan bahwa apa yang dijalankan oleh terdakwa berkesesuaian dengan Pasal 11 ayat (2) Perpol Nomor 7 Tahun 2022.

Dalam Pasal 11 ayat (2) itu berbunyi “Setiap pejabat Polri yang berkedudukan sebagai bawahan dilarangan melawan atau menentang atas dan menyampaikan laporan yang tidak benar kepada atasan.

Adapun Perpol Nomor 7 Tahun 2022 sebagai aturan baru yang disahkan pad 14 Juni lalu, menggantikan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 4 tahun 2011 tentang Kode Etik Polri dan Perkap Nomor 19 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Polri yang direvisi karena mencuatnya kasus Raden Brotoseno.

Menurut Bambang, Perpol 7/2022 sebagai peraturan harusnya detail dan jelas rambu-rambunya untuk mengantisipasi pelanggaran maupun gugatan pada penerapannya.

Baca Juga:Ini Daftar Nama 7 Mantan Kapolri Temui Listyo Sigit di Mabes Polri, Ada Apa?

“Padahal kalau melihat Perkapol tersebut baru diterbitkan bulan Juni 2022 dan merupakan revisi dua perkap sebelumnya, harusnya bisa mengantisipasi dan menutupi kelemahan-kelemahan perkapol sebelumnya,” kata Bambang.

Bambang juga mengungkapkan, bukan hanya Perpol 7/2022 yang satu-satunya peraturan Polri yang bermasalah. Tapi salah satu akibat bila Polri membuat rumusan kebijakan berupa peraturan sekaligus pelaksana.

“Akibatnya, yang seharusnya pelaksana harus taat dan menyesuaikan peraturan, ini malah sebaliknya peraturan disesuaikan dengan pelaksanaan,” ujarnya.

Baca Juga:Kapolri Larang Tilang Manual, Korlantas Maksimalkan e-TLE di Semua Polda

Ketidakkonsistenan Perpol 7/2022 ini, kata Bambang, berpeluang terjadi abuse of power sangat besar karena ada konflik kepentingan antara perumus aturan dan pelaksana.

Bambang berpendapat Perpol 7/2022 mendesak untuk direvisi, namun ia sanksi apakah Polri mau merevisi aturan itu, mengingat akan terjadi dua kali revisid alam satu tahun.

Secara aturan, revisi dua kali dalam setahun bisa saja dilakukan, kata dia, tinggal kemauan pimpinan Polri untuk melakukan. Karena tidak da aturan bahwa perkap yang diterbitkan kapolri untuk direvisi kembali.

Karena lanjut dia, salah satu pasal yang perlu direvisi itu soal waktu pelaksanaan sidang etik terkait pelangaran berat (pidana). Apakah dilaksanakan sebelum atau sesudah. Hal ini penting untuk menjaga imparsialitas dan potensi abuse of power.

“Demikian juga dengan pasal terkait aturan sanksi PTDH untuk pelanggar pidana yang divonis lebih dari tiga tahun dan sudah inkrah,” katanya.

Ia melanjutkan, kode etik profesi kepolisian ini adalah norma moral tertinggi sebuah profesi, jadi harus dipisahkan dengan pidana dan kedudukannya harus lebih tinggi dibanding pidana umum.

Sehingga, kata Bambang, revisi Perpol No 7 tahun 2022 sangat urgen bila menginginkan reformasi kultural di tubuh kepolisian dapat segera terjadi.

Baca Juga:Sidak ke Kantor Samsat, Kapoldasu Minta Layani Masyarakat dengan Baik

“Tanpa ada perubahan (reformasi) instrumental (perkapolri) sepertinya berat untuk berharap reformasi kultural kepolisian terjadi. Reformasi kultural tak akan terbentuk bila tak ada reformasi struktural dan instrumental lebih dulu,” katanya.

“Kalau instrumennya salah, akibatnya mereka bersembunyi dengan alasan instrumen-instrumen, sudah sesuai SOP, mengikuti perintah atasan dan lain-lain,” katanya menambahkan.(antara/hm01)

Related Articles

Latest Articles