10.6 C
New York
Friday, April 26, 2024

MK Tegaskan Sanksi Pidana Penghinaan Lambang Negara Belum Berlaku

Jakarta, MISTAR.ID

Undang-undang Nomor 1/2023 tentang KUHP Baru diundangkan pada 2 Januari 2023, termasuk sanksi pidana penghinaan lambang negara. Oleh sebab itu, gugatan pemohon prematur sehingga permohonan tidak diterima.
“Terhadap KUHP baru atau UU 1/2023 telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. Namun demikian, dalam Pasal 624 BAB XXXVII mengenai Ketentuan Penutup dinyatakan bahwa UU a quo atau KUHP a quo mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Dengan kata lain, KUHP a quo baru akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026,” demikian bunyi putusan MK sebagaimana dilansir website MK, Minggu (28/5/23)

Putusan itu atas permohonan yang diajukan oleh Leonardo Siahaan dan Ricky Donny Lamhot Marpaung yang menguji Pasal 237 huruf c, Pasal 100 ayat (1), dan Pasal 256 KUHP. Hakim MK Suhartoyo menyebutkan terkait dengan keberlakuan KUHP baru ini telah dipertimbangkan pula dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi, di antaranya Putusan MK Nomor 1/PUU-XXI/2023, Putusan MK Nomor 7/PUU-XXI/2023, dan Putusan MK Nomor 10/PUU-XXI/2023.

Putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 28 Februari 2023 lalu. Karena permohonan para Pemohon diajukan pada 28 Maret 2023 dan diregistrasi Kepaniteraan pada 3 April 2023, serta perbaikan permohonannya diterima pada 26 April 2023. Sehingga pada saat permohonan ini diajukan, telah terdapat fakta KUHP baru yang dimohonkan pengujian secara hukum ini belum berlaku.

“Dengan demikian, unsur syarat adanya anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma undang-undang dan unsur adanya hubungan sebab-akibat antara anggapan kerugian konstitusional para Pemohon akibat berlakunya norma undang-undang ini belum terpenuhi karena belum berlakunya undang-undang yang bersangkutan.

Dengan demikian, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon merupakan dalil yang terlalu dini (prematur),” sebut Suhartoyo.

Baca juga: Putusan MK Cegah Pemerintah Langgar Undang-undang

Sebagaimana diketahui, Leonardo Siahaan dan Ricky Donny Lamhot Marpaung pun menggugat pasal itu ke MK. Pasal 237 huruf C KUHP Nasional itu berbunyi:

Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II, Setiap Orang yang: menggunakan lambang negara untuk keperluan selain yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang.

“Menyatakan pasal 237 huruf C bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” demikian petitum permohonan keduanya yang dikutip dari berkas permohonan pemohon di website MK,” pinta pemohon.

Aturan itu pernah dihapus MK dalam putusan MK Nomor 4/PUU-X/2012 yang diketok pada 2013. Aturan itu tertuang dalam UU Nomor 24/2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Alasan MK menghapus pasal itu adalah:

Mahkamah berpendapat pembatasan penggunaan lambang negara merupakan bentuk pengekangan ekspresi dan apresiasi warga negara akan identitasnya sebagai warga negara. Pengekangan yang demikian dapat mengurangi rasa memiliki yang ada pada warga negara terhadap lambang negaranya, dan bukan tidak mungkin dalam derajat tertentu mengurangi kadar nasionalisme, yang tentunya justru berlawanan dengan maksud dibentuknya Undang-Undang a quo.

“Tidak ada pembedaan serupa sama sekali tetapi yang menjadi ironis Pasal 57 itu yang sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 entah kenapa diberlakukan kembali dan dimasukkan kembali ke dalam KUHP yang tertuang dalam Pasal 237. Artinya, bahwa di sini sudah menandakan pemerintah tidak mematuhi putusan MK atau dalam bahasa kasarnya putusan MK ini hanya dianggap formalitas aja, sehingga Pemerintah tidak melaksanakan putusan MK ini yang sudah ada tertera Putusan Nomor 4/PUU-X/2012,” ucap pemohon.

Oleh sebab itu, pasal di KUHP baru diminta Leonardo Siahaan dan Ricky Donny Lamhot Marpaung untuk dihapus.

“Ini menjadi sangat ironis pemerintah tidak mengakui atau melaksanakan putusan Mk tersebut dan dituangkan kembali ke KUHP,” ujarnya. (Detik/hm19)

Related Articles

Latest Articles