17.2 C
New York
Sunday, September 29, 2024

Kemarau Berkepanjangan, Kekurangan Air Bersih dan Gagal Panen akan Melanda Indonesia Akibat Fenomena Cuaca

Jakarta, MISTAR.ID

Selama berminggu-minggu, puluhan warga Desa Ridogalih, Pemkab Bekasi, Provinsi Jawa Barat berbondong-bondong ke sungai kecil untuk mandi dan mencuci pakaian, berjalan kaki atau naik sepeda motor di bawah terik matahari akibat musim panas yang tiada henti.

Sumur air di desa sepi ini 90 menit dari ujung timur ibu kota Indonesia, Jakarta itu telah mengering sejak awal bulan Juni, kedalamannya tandus dan kosong.

Sementara itu, persawahan yang sebelumnya  subur, dan dulunya terhampar bagai lautan hijau sudah mulai berubah menjadi tanah gersang, dengan batang-batang padi sudah layu mencuat dari permukaan tanah.

Baca juga: BMKG Prediksi Cuaca Panas Terjadi di Paluta, Asahan dan Sergai: Waspadai Kebakaran

Musim kemarau membuat warga tidak punya pilihan selain mencari air dari sumber air terdekat, Cihowe, sungai kecil yang membelah tengah desa.

“Bahkan sekarang permukaan air sungai sudah surut,” kata Hanifah (45), seperti dilansir, pada Senin (31/7/23).

Ibu 2 orang anak ini khawatir jika musim kering terus berlanjut, Cihowe akan berkurang seperti yang terjadi pada 2019 ketika 2 fenomena cuaca El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) positif  mengakibatkan kekeringan yang berkepanjangan  di seluruh Indonesia. 

Peristiwa IOD positif, yang menekan pembentukan awan di bagian tertentu Samudera Hindia tropis, biasanya memiliki kondisi yang lebih kering dan lebih hangat ke banyak bagian Asia Tenggara bagian selatan. 

Tahun itu, air sumur Ridogalih tandus selama 7 bulan, kata Hanifah, dan Cihowe berhenti mengalir total. Disebutkan, warga harus antre berjam-jam mendapatkan air bersih yang disalurkan pemerintah dan donatur swasta dengan menggunakan armada truk tangki. 

Truk tidak datang secara teratur dan warga harus menyisihkan sebagian besar pendapatan mereka untuk membeli air mineral. Tidak ada yang tumbuh tahun itu, sehingga para petani Ridogalih harus mencari pekerjaan serabutan di tempat lain, membuat desa kehilangan sebagian besar penduduk usia produktifnya.

Baca juga: Musim Kemarau Kok Hujan? Simak Penjelasan Apa Itu Rossby Ekuator

Para ilmuwan di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Indonesia memprediksi, kedua fenomena cuaca itu bakal kembali terjadi tahun ini, sehingga memperingatkan jutaan penduduk Indonesia dapat menghadapi kekeringan berkepanjangan, kelangkaan air bersih dan gagal panen. 

BMKG juga memperingatkan bahwa kebakaran hutan dan lahan bisa meningkat tahun ini. 

“Pemerintah daerah harus segera memitigasi dan bersiap-siap (kekeringan),”  kata Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, pada 21 Juli 2023 lalu.

Ia juga menambahkan, musim kemarau diperkirakan akan mencapai puncak antara bulan Agustus-September dan berlangsung hingga awal tahun depan.

Minggu lalu, petugas daerah di seluruh Indonesia mulai memetakan daerah rawan kekeringan dan menyusun strategi untuk memitigasi dampak kedua fenomena cuaca tersebut. Setidaknya Provinsi Jawa Barat, lokasi Desa Ridogalih berada telah menyatakan keadaan darurat.

Fenomena Cuaca Beerdampak  Luas

Baca juga: BMKG Sebut 56 Persen Wilayah Indonesia akan Alami Musim Kemarau

Menurut data pemerintah, sekitar 92 persen negara melaporkan musim kemarau yang lebih keras dari biasanya akibat El Nino 2019 dan kejadian IOD positif. 

Kondisi itu menyebabkan sekitar 48,5 juta orang di seluruh Indonesia mengalami akses air bersih yang berkurang. Tahun itu, keadaan darurat diumumkan di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Yogyakarta di Pulau Jawa, bersama dengan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Pemerintah Indonesia belum memprediksi berapa banyak orang yang akan terkena dampak kekeringan tahun ini. Tetapi daerah-daerah tertentu mulai muncul dampak dari kedua fenomena cuaca tersebut.

Pekan ini, kelaparan terjadi di 3 Kabupaten di Papua setelah musim kemarau mengakibatkan gagal panen, seperti dilaporkan Kementerian Sosial (Kemensos). Para petugas berusaha mengirimkan makanan dan bantuan kemanusiaan lainnya ke daerah-daerah yang terkena dampak.

Laporan media setempat, jika di Sragen, Jawa Tengah, lebih dari 3.000 orang di 4 Kabupaten menghadapi krisis air bersih dan harus bergantung pada pasokan yang dijatuhkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat. BPBD memperkirakan jumlah korban akan meningkat seiring dengan berlanjutnya musim kemarau.

Kelangkaan air juga dilaporkan terjadi di 2 Kabupaten lain di Jawa Tengah. Sementara itu di Jakarta, sungai Ciliwung yang terkenal rawan banjir telah mengalami penurunan ketinggian air selama beberapa minggu terakhir.

Baca juga: 18 Wilayah Indonesia Sudah Alami Kemarau

Di pintu air Katulampa, ketinggian air bahkan turun hingga nol sentimeter pada minggu ini. Itu berarti tidak ada air yang masuk dari banyak anak Sungai Ciliwung di daerah hulu yang berbukit. Pintu air memiliki ketinggian air rata-rata 50 cm dan saat banjir besar bisa mencapai 200 cm. Musim kemarau juga mempengaruhi kualitas dan kuantitas air di daerah lain.

Warga Jakarta, Nurbayati mengatakan, hanya mendapatkan layanan air ledeng intermiten selama beberapa minggu terakhir.

“Air hanya mengalir pada waktu-waktu tertentu saja. Berjalan selama beberapa jam dan berhenti lagi. Inilah mengapa banyak orang di lingkungan saya termasuk saya mulai membeli tangki air untuk menampung air,” katanya, seraya menambahkan, airnya terkadang keruh dan berbau kaporit.

Pemerintah Bersiap Menghadapi Kekeringan Berkelanjutan

Presiden Joko Widodo, pada Senin (24/7/23) menginstruksikan pemerintah daerah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyisihkan dana untuk membantu masyarakat yang terkena dampak kekeringan.

“Kami berharap bisa (mempersiapkan) jauh-jauh hari, agar ketika El Nino melanda, masyarakat tidak kewalahan karena panasnya bisa menyebabkan gangguan kesehatan. Dan kedua, (keamanan) pangan kita juga bisa terganggu,” kata Jokowi kepada wartawan di Jakarta. 

Baca juga: Dua Hari Kedepan, Cuaca di Sumut Bisa Berubah Tiba-tiba

Presiden mengatakan, pemerintah siap memberikan bantuan pangan dan subsidi untuk mengantisipasi kemungkinan kenaikan harga akibat gagal panen.

Deputi Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan menuturkan, pemerintah juga perlu bersiap menghadapi dampak lain kekeringan berkepanjangan.

“Pada musim kemarau, udara akan lebih kering dan sarat debu, sehingga lebih rentan terhadap penyebaran penyakit,” ujarnya melalui keterangan tertulis. 

Sopaheluwakan mengatakan, umumnya masyarakat Indonesia juga dapat berperan mengurangi dampak kekeringan, dengan hanya menggunakan air ketika benar-benar membutuhkannya, dan menahan diri dari aktivitas yang bergantung pada air seperti menyiram taman atau terlalu sering mencuci mobil.

Deputi Bidang Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Prasinta Dewi menuturkan, pihaknya telah mendorong pemerintah daerah untuk membuat strategi mitigasi dalam menghadapi dampak kekeringan.

“Setiap daerah harus membuat rencana darurat berdasarkan sumber daya yang mereka miliki. Kemudian, mereka perlu membuat daftar apa yang mereka butuhkan jika terjadi bencana,” katanya dalam sebuah diskusi pada Selasa (25/7/23).

Baca juga: BMKG : Waspada Perubahan Cuaca Tiba-tiba, Guntur dan Angin Kencang

Beberapa Provinsi, kata Dewi, mulai memetakan daerah rawan kekeringan dan menyiapkan puluhan truk tangki yang siap mendistribusikan air dari sumber air yang tidak berdampak ke daerah yang membutuhkan.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat melangkah lebih jauh dengan mengumumkan status darurat pada Senin (10/7/23), yang memungkinkan daerah itu mengalokasikan lebih banyak uang dan sumber daya untuk mengatasi kekeringan. Status itu juga memungkinkan provinsi meminta bantuan dari pemerintah pusat di Jakarta.

Firdaus Ali, pakar teknik lingkungan dari Universitas Indonesia (UI) menilai, Indonesia membutuhkan solusi yang lebih strategis  mengatasi kekeringan dalam jangka panjang.

Idealnya, negara sebesar Indonesia memiliki minimal 4.000 bendungan dan waduk untuk menampung air saat musim hujan dan menyalurkannya kembali saat musim kemarau. Negara berpenduduk 270 juta saat ini memiliki 235.

“Kami membutuhkan infrastruktur air yang masif untuk meningkatkan kemampuan kami dalam memasok air bersih, mengendalikan banjir dan sebagainya,” sebut Ali dalam sebuah diskusi baru-baru ini, seraya menambahkan proyek semacam itu akan membutuhkan investasi miliaran dolar (cnnnewsasia/hm16)

Related Articles

Latest Articles