8.3 C
New York
Thursday, March 28, 2024

Pengamat: Beban Bagi Masyarakat yang Tak Dapat PBI

Medan | MISTAR.ID – Pengamat kesehatan masyarakat dr Delyuzar menilai kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan bukan pekerja sangat berdampak besar bagi masyarakat tidak mampu yang belum mendapatkan Penerima Bantuan Iuran (PBI).

“Ini tidaklah mudah bagi masyarakat terkhusus bagi kelompok yang tidak terima PBI,” sebut Ketua Jaringan Kesehatan Masyarakat (JKM) Sumut itu, Rabu (30/10/19).

Kata dia, seharusnya pemerintah mempertimbangkan lagi kenaikan iuran BPJS tersebut. Pasalnya, kenaikan ini malah menjadi beban bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah yang tidak menerima PBI.
“Sebenarnya pemerintah harus turun tangan. Apabila terkendala pembayaran (utang) di rumah sakit, yang menjadi korban itu pasti pasien dan rakyat kecil,” terang dia.

Saat disinggung apakah kenaikan BPJS kesehatan ini, masyarakat akan memilih jaminan ke swasta, dia menilai tidak. Pasalnya, menurut dia, masyarakat akan lebih berat bila mendaftar ke swasta.
“Ini soal kemampuan, kalau ke swasta tentu lebih berat lagi. Masalahnya masyarakat kita banyak yang tidak mampu. Kalau yang mampu tidak ada masalah masuk ke swasta,” cetus dia.

Ia sendiri berharap agar pemerintah harus mengevaluasi ulang kenaikan iuran BPJS kesehatan tersebut. “Ini harus benar-benar dievaluasi ulang. Kasihan masyarakat kecil yang tidak mendapat PBI,” ucap Delyuzar.

Dia menambahkan, pemerintah harus mendata ulang peserta yang mendapatkan PBI. Karena menurut dia, banyak sekarang masyarakat yang seharusnya tidak mendapatkan PBI menjadi dapat. “Sekarang banyak orang yang miskin tiba-tiba karena sakit. Nah negara harus bisa menjamin masalah ini,” ungkapnya.

Sementara itu, pengamat sosial dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Bakhrul menyatakan, seharusnya negara mencari solusi lain tanpa menaikkan iuran BPJS Kesehatan. “Kesehatan adalah salah satu jaminan dari negara buat masyarakatnya,” jelas dia.

Dengan kenaikan iuran ini, masyarakat tidak lagi mendapatkan jaminan kesehatan. “Bagaimana mau mendapatkan hidup yang layak, kalau kesehatan saja tidak bisa didapatkan,” ungkapnya.

Untuk itu, ia berharap agar pemerintah bisa menyelesaikan persolan BPJS kesehatan ini. “Negara harus bisa menyelesaikan persoalan ini. Negara ada karena masyarakat,” ungkap dia.

Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja sebesar dua kali lipat dari besaran saat ini. Berlaku awal Januari 2020.

Peserta Nonaktif Melonjak

Terpisah, Ketua Bidang Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, kenaikan iuran BPJS Kesehatan hingga 100 persen akan meningkatkan jumlah peserta nonaktif hingga 60 persen dari total peserta, terutama peserta mandiri. Hal itu otomatis justru menurunkan pendapatan perusahaan.

Pernyataan diungkapkan menanggapi kebijakan Presiden Joko Widodo yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja hingga 100 persen dan berlaku awal 2020 mendatang.

“Kalau (iuran BPJS Kesehatan) naik terlalu besar, potensi pendapatan yang diharapkan naik malah jadi kontraproduktif,” ungkap Timboel, Rabu (30/10/19).

Timboel memperkirakan iuran BPJS Kesehatan yang naik justru akan meningkatkan jumlah peserta nonaktif, bahkan bisa mencapai 60 persen. Sampai pertengahan 2019, jumlah peserta nonaktif tercatat 49,04 persen dari total peserta mandiri. Angka itu meningkat dari laporan jumlah peserta nonaktif sekitar 40 persen tahun lalu.

“Tahun lalu peserta nonaktif sekitar 40 persen, lalu per Juni naik jadi 49,04 persen karena fasilitas kurang memuaskan. Sekarang iuran naik, fasilitas juga belum memadai, saya perkirakan peserta nonaktif bisa sampai 60 persen,” ujar Timboel.

Jika peserta nonaktif benar-benar meningkat, artinya masyarakat kembali ‘berjauhan’ dengan pelayanan kesehatan. Pada akhirnya, semangat pemerintah untuk mendekatkan masyarakat pada fasilitas kesehatan melalui program JKN menjadi luntur.

Secara umum, menurut dia, Perpres Nomor 75 itu baik dan diharapkan dapat mengatasi masalah defisit yang tiap tahun mendera Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dalam pasal 29 yang menetapkan Iuran PBI sebesar Rp42 ribu per orang per bulan dianggap mampu mendongkrak penerimaan iuran JKN secara signifikan.

Namun, persoalan utama beleid berada pada Pasal 34, yaitu tentang kenaikan iuran peserta PBPU atau Peserta Mandiri yang fantastis. Iuran mandiri kelas III naik 64 persen dari Rp25.500 menjadi Rp42 ribu, iuran mandiri kelas II naik hingga 155 persen dari Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu, dan iuran mandiri kelas I naik 82 persen dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu.

“Kenaikan ini sangat memberatkan peserta mandiri yang akan berakibat pada willingness to pay (keinginan membayar) dan ability to pay (kemampuan membayar) yang menurun,” paparnya.

Reporter: Saut Hutasoit
Editor: Luhut Simanjuntak

Related Articles

Latest Articles