10.3 C
New York
Tuesday, March 26, 2024

Mengintip Secuil Sejarah Medan Area dari Rumah Muhammad TWH

Medan, MISTAR.ID – Kamis pagi, 7 November 2019, kira-kira pukul sepuluh, rumah nomor 6 di Jalan Sei Alas tampak sepi. Dua ekor kucing tertidur malas di teras. Cuaca saat itu lebih panas. Kontradiktif dengan hari-hari sebelumnya, yang selalu dirundung hujan.

Pada dinding teras itu, tepat di bagian tengah, terpamer sebuah lukisan cat air berukuran sedang. Lukisan perang.

Di situ tergambar, seorang pejuang terluka di bagian perut. Dia tengah mendapat perawatan dari dua perempuan petugas Palang Merah. Di belakang mereka, beberapa pejuang, dengan ikat kepala berwarna merah putih memegang bedil. Latar mereka adalah dua pesawat, yang baru saja menghempas bom yang membikin ledakan. Heroik.

Seorang perempuan dari dalam rumah kemudian keluar. “Cari siapa,” tanyanya.

“Saya mau ketemu Pak TWH,” jawabku.

Dia membuka gerbang dan langsung menyelonong ke dalam rumah. Saya menunggu dan berdiri di teras, depan lukisan itu. Dua kucing yang tadi tertidur, segera pergi. Mungkin mereka terganggu.

Kira-kira dua menit kemudian, seorang pria muda keluar. “Disuruh masuk. Langsung aja ke kamar,” katanya, sambil menuntunku ke kamar depan rumah itu.

Seorang pria tua menyambutku dengan senyuman dari tempat tidur. Batinku berspekulasi, orang tua ini tengah sakit. Tapi masih bisa bicara. Syukurlah. Dia mempesilahkan duduk di kursi, tepat di samping tempat tidur itu.

Dialah Muhammad TWH, nama itu singkatan dari Muhammad Tok Wan Haria. Dia mantan pejuang dan kini terdaftar sebagai salah satu anggota Legiun Veteran.

Dia juga salah satu tokoh pers Sumatera Utara. Karirnya di dunia jurnalistik, terutama tulisan sejarahnya mendapat pengakuan banyak pihak, termasuk menerima sejumlah penghargaan dari Negara.

“Mau cari apa kemari,” tanyanya.

“Oh. Saya jurnalis, Pak. Dari Harian Mistar. Kebetulan, saya dapat informasi kalau Bapak tahu banyak soal peristiwa Medan Area,” jawabku.

“Oh, itu. Waktu itu saya masih SMP,” ungkapnya.

Dia mulai terlihat bersemangat. Mencoba memperbaiki posisi tidurnya, sedikit menghadapku. Tapi cuma sekejab. Posisinya kembali seperti semula. Telentang. Kaki kanan sedikit ditekuk agar tak terlalu payah saat menoleh ke arahku, yang duduk di samping tempat tidur.

Cerita dimulai. TWH mengambil latar euforia kemerdekaan RI yang baru diketahui di Medan pada 27 Agustus 1945. Informasi ini diumumkan oleh Muhammad Hassan, Gubernur Sumatera yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno. Jepang menyerah. Rakyat bersukacita. Euforia itu berlangsung berbulan-bulan. Rakyat, mulai dari anak-anak sampai orang tua banyak yang pakai lambang-lambang yang berbau Indonesia. Ikat kepala merah putih atau bahkan lencana di dada.

Kemudian, pada 9 Oktober 1945, tentara Inggris dan NICA dibawah komando T.E.D Kelly merapat di Pelabuhan Belawan. Tujuan mereka saat itu untuk mengurus tawanan Jepang. Namun, diam-diam, Belanda ingin mengatur strategi untuk menguasai Indonesia kembali.

“Waktu itu, mereka nginap di hotel-hotel. Seperti Hotel de Boer, Grand Hotel dan lain-lain,” katanya.

Gesekan-gesekan mulai terjadi antara tentara Sekutu, terutama tentara Inggris dan Belanda dengan pemuda Indonesia. Puncaknya terjadi pada 13 Oktober 1945.

Saat itu, seorang pemuda Indonesia melintas di depan Asrama Pension Wilhelmina di Jalan Bali yang saat ini dikenal dengan Jalan Veteran. Dia mengenakan lencana merah putih.

Dia kemudian dihentikan oleh NICA, dan diminta menanggalkan lencana itu. Setelah dibuka, mereka menginjaknya dan menyuruh pemuda itu menelan.

Provokasi tentara sekutu itu lantas membuat pemuda Indonesia geram. Hotel itu diserang. Pertempuran pecah dan memakan puluhan korban. Paling banyak dari pihak sekutu.

Peristiwa Jalan Bali itu segera tersiar ke seluruh pelosok kota Medan. Tiga hari kemudian, bentrokan kembali terjadi di beberapa titik di Medan. Pemuda Indonesia menyerang gudang senjata di Helvetia, Glugur dan Pulo Brayan. Penyerangan dilakukan pada malam hari.

Sementara itu, di simpang Jalan Deli dan Jalan Serdang yang sekarang disebut Jalan Perintis Kemerdekaan, pecah bentrokan lain. Bentrokan pecah di sebuah masjid di sana. Tiga hari pertempuran berlangsung di sana, sebelum akhirnya masjid itu dihancurkan Inggris. Setelah perang, masjid lain dibangun diatasnya untuk mengenang perjuangan mereka. Masjid itu dinamai Masjid Perjuangan 45.

Melihat pertempuran makin marak, Komandan Inggris, T.E.D Kelly kemudian mengeluarkan ultimatum yang melarang pemuda Indonesia membawa senjata, dalam bentuk apapun. Razia besar-besaran kemudian dilakukan.

Setelah razia itu, kecurigaan pemuda terhadap tentara Inggris mencuat. Kondisi itu akhirnya menimbulkan konflik ber­senjata dengan para pemuda, baik yang bergabung dengan TKR maupun dengan Laskar Rakyat.

Sepanjang Desember 1945 hingga Maret 1946, konflik terjadi dimana-mana, mulai dari Medan, Belawan, Tanjung Morawa, Binjai bahkan hingga ke Tebingtinggi. Siang dan malam pertempuran pecah.

Maret 1946 pasukan Inggris kembali melakukan razia ke basis-basis laskar rakyat di sekitar Tanjung Morawa. Barisan Pelopor dan Laskar Napindo yang berada berada di daerah ini kemudian mencegat pasukan Inggris sehingga terjadi baku tembak.

Pertempuran kemudian berkobar selama dua hari dan akhirnya pasukan Inggris menarik pasukannya dari Tanjung Morawa. Namun demikian pasukan sekutu terus melakukan razia di dalam kota. Akibatnya pada pertengahan April 1946, Markas Divisi IV berserta seluruh stafnya dan Kantor Gubernur Sumatera dan semua jawatan-jawatannya pindah ke Pematangsiantar.

Sejak pindahnya Komando Militer dan Pemerintahan Republik ke Pematang Siantar pasukan Inggris setiap hari melancarkan serangan ke kubu-kubu TRI dan Laskar Rakyat di sekitar Medan Area. Pada akhir bulan Mei, selama satu minggu mereka menggempur habis kampung-kampung di sekitar kota Medan. Akibat serangan itu tentu saja membuat penduduk sipil mengungsi ke luar kota, seper­ti ke Tanjung Morawa, Pancur Batu, Binjai, Tebing Tinggi, Pematangsiantar, dan sebagainya.

Sampai akhir bulan Juli 1946 pasukan republik yang bertempur di Medan Area bergerak tanpa komando. Kemudian pada bulan Agustus 1946 dibentuklah Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area atau KRLRMA. Laskar membawahi laskar Napindo, Pesindo, Barisan Merah, Hisbullah, dan Pemuda Parkindo. Setiap pasukan disusun dalam formasi batalion yang terdiri dari empat kompi. Medan Area dibagi dalam empat sektor dan tiap sektor terdiri atas dua sub-sektor.

Beberapa bulan kemudian, Belanda menambah kekuatan mereka di wilayah ini dan mulai melakukan gerakan militer. Gerakan militer pasukan Belanda ini tidak bisa dilepaskan dengan adanya rencana Inggris yang ingin sece­patnya meninggalkan Indonesia. Hingga akhir tahun 1946, berbagai bentrokan fisik antara kekuatan militer Republik dengan Belanda terus terjadi di segala front Medan Area.

Pertempuran Medan Area berakhir pada 15 Februari 1947 tengah malam, setelah ada perintah dari Komite Teknik Gencatan Senjata untuk menghentikan kontak senjata. Sesudah itu perundingan dilakukan untuk menetapkan garis-garis demarkasi yang definitif untuk Medan Area.

Dalam perundingan yang berakhir pada tanggal 10 Maret 1947 itu, ditetapkanlah suatu garis demarkasi. Akan tetapi kedua pihak, Indonesia dan Belanda, selalu bertikai mengenai garis demarkasi ini. Empat bulan setelah akhir pertempuran ini, Belanda melaksanakan Operatie Product atau disebut Agresi Militer Belanda I.

“Ah, sampai di situ dulu. Lebih baik kau lihat-lihat di luar,” kata WTH sambil menunjuk ke arah ruang tamu.

Dia kemudian mencari sesuatu di tempat tidurnya. Meraba-raba. “Haa.. Ini dia,” katanya sambil menggenggam peluit berwarna hitam.

“Priittt.”

Rupanya peluit itu tanda panggilan. Tak lama kemudian, muncul seorang pemuda, yang tadi menyuruhku masuk. Ternyata itu cucunya. Saya lupa tanya namanya siapa. Dia membawa kursi roda. Kakeknya kemudian dibantu ke kursi roda.

Saya mengambil alih kursi roda itu setelah masuk ke ruang tamu. Di sana, berjejer foto dan lukisan para pejuang dan pahlawan asal Sumatera Utara. Ada satu ruang lagi di samping ruang tamu. Itu adalah musuem pers.

TWH menyuruhku membawanya ke sisi kanan ruang tamu. Dia menunjuk sederet bingkai. “Ini mereka yang gugur saat peristiwa Medan Area,” katanya.

Di situ ada gambar Kapten R Saulian, Kapten Martinus Lubis, Letnan Rahmat Syah Rais dan beberapa foto lainnya. Dia kemudian memintaku membuka lembaran-lembaran karton yang berisi gambar para pejuang. Ternyata, di antara tumpukan itu, ada sketsa rupa Jenderal TED Kelly, sang Panglima Sekutu.

Dia kemudian menunjuk satu lukisan cat air. Di situ tergambar, puluhan orang menghunuskan parang ke arah satu rumah. Di samping lukisan itu, ada papan hitam bertuliskan “Penyerbuan spontan terhadap Pension Wilhelmina di Jalan Bali (Jl.Veteran), Tanggal 13 Oktober 1945, Sebabnya seorang serdadu NICA (Belanda) menginjak-nginjak lencana Merah Putih.”

“Nah, ini dia intinya dari cerita kita tadi. Saya minta seorang kawan untuk melukisnya, supaya bisa diingat,” ungkapnya.

Kami kemudian bercerita ringan. Saya mendorong kursi rodanya ke luar, ke teras depan. Pria berusia 87 tahun ini ternyata hanya mengalami lumpuh, karena stroke yang menimpanya beberapa tahun silam. Ingatannya masih sangat kuat. Tubuhnya juga masih sehat.

“Kalian kalau masih muda, jangan sampailah darah tinggi. Kalau terlalu tinggi, bisa mati. Untung saja saya masih bisa hidup,” katanya.

Mata kami kemudian tertuju pada lukisan di teras itu. “Itu lukisan pejuang. Semangat pemuda. Sama seperti Medan Area, pemuda yang berjuang. Semangat pemuda Medan Area harus kita contoh,” tambahnya.

Hari beranjak siang. Cuaca makin panas. Padahal ini musim penghujan. Obrolan kami terhenti di situ. Dua kucing kecil tadi, sudah kembali riang. Sesekali mereka bergulat di depan kami, kemudian kabur ke dalam rumah.

Reporter: Daniel Pekuali

Editor: Herman

Related Articles

Latest Articles