7.5 C
New York
Tuesday, April 23, 2024

Tuntut Kenaikan Gaji, 155 Ribu Pekerja di Inggris Mogok

London, MISTAR.ID

Sebanyak 155 ribu pekerja di Inggris dari berbagai profesi mogok kerja menuntut kenaikan upah akibat tingginya biaya hidup.

Mulai dari pekerja kereta api, jurnalis, pengacara hingga pekerja pos turut mogok kerja sejak beberapa pekan akibat penurunan standar hidup. Dua serikat pekerja pada Rabu juga mengumumkan aksi mogok lebih lanjut oleh 14 ribu anggota mereka pada akhir bulan ini.

Mengutip CNN, Jumat (2/9/22), guru, dokter, dan perawat akan memberikan suara untuk aksi mogok dalam beberapa minggu mendatang. Serikat pekerja bahkan bisa mengoordinasikan pemogokan mereka.

Unite and Unison, serikat pekerja terbesar di negara itu dengan total 2,7 juta anggota, menyerukan agar yang lain bergabung dengan mereka dalam aksi tersebut.

Baca Juga:Terjerat Pelanggaran Imigrasi, Junta Myanmar Dakwa Mantan Duta Besar Inggris

Unjuk rasa ini adalah respons dari lonjakan inflasi yang menghantam Inggris. Lonjakan harga dan gaji yang stagnan selama bertahun-tahun menjadi latar belakang mogok kerja kali ini.

Inflasi harga konsumen mencapai level tertinggi dalam 40 tahun sebesar 10,1 persen pada Juli.

Ekonom di Citigroup memperkirakan bahwa inflasi bisa tembus 18 persen pada awal tahun depan. Goldman Sachs bahkan memprediksi di angka 22 persen jika harga gas tidak turun.

Sementara, lonjakan inflasi itu tak diimbangi dengan kenaikan upah riil pekerja. Tercatat, upah riil rata-rata, yang memperhitungkan inflasi, turun 3 persen antara April dan Juni, dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Penurunan itu berdampak besar terhadap daya beli pekerja.

Baca Juga:Tagihan Energi Rumah Tangga Inggris Melonjak Hingga 80% di Bulan Oktober

Rata-rata tagihan energi rumah tangga, yang telah naik 54 persen tahun ini, akan melonjak sebesar 80 persen menjadi 3.549 Inggris poundsterling atau setara dengan US$4.124 pada Oktober.

Auxilione, sebuah perusahaan riset, memperkirakan tagihan rata-rata bisa mencapai 7.700 Inggris poundsterling atau setara dengan US$8.949 pada April depan – setara dengan tagihan bulanan 642 Inggris poundsterling atau US$746.

Mogok kerja kali ini diperkirakan menjadi salah satu gelombang kerusuhan industri paling signifikan yang pernah dialami Inggris sejak akhir 1970 an, ketika inflasi yang merajalela mendorong pekerja untuk melakukan pemogokan massal.

Catatan Kantor Statistik Nasional mencatat, sekitar 7,9 juta hari kerja hilang antara November 1978 dan Februari 1979.

Baca Juga:Krisis Biaya Hidup di Inggris Makin Parah

Namun, Richard Hyman, seorang profesor hubungan industrial di London School of Economics, mengatakan gelombang aksi industri saat ini tidak bisa dibandingkan dengan unjuk rasa pada 1970-an dan 1980-an.

“Sekitar sekitar 1980, lebih dari separuh tenaga kerja tergabung dalam serikat pekerja. Hari ini kurang dari seperempat, jadi ada penurunan besar,” kata Hyman.

Hyman menambahkan pemogokan kala itu terkonsentrasi di sektor-sektor yang kurang lebih sudah hilang seperti pertambangan batu bara dan baja.

Sekarang, keanggotaan serikat (pekerja) lebih condong ke sektor publik, atau perusahaan utilitas besar yang dulunya dimiliki oleh pemerintah.

“Ada peningkatan pekerjaan tidak tetap, sehingga semakin banyak pekerja yang tidak memiliki pekerjaan yang layak lagi sehingga tidak dalam posisi untuk mogok,” tambah Hyman.

Baca Juga:Gelombang Panas di Inggris Capai Lebih dari 40C ‘Seperti Kiamat’

Chiara Benassi, seorang profesor dalam hubungan kerja komparatif di King’s College London, mengatakan bahwa selama tahun 1980-an, ketika industri manufaktur Inggris menyusut dengan cepat, pemogokan sering kali menyangkut kelangsungan sektor-sektor utama.

Antara 1984 dan 1985, ribuan penambang batu bara mogok setelah pemerintah Konservatif Margaret Thatcher mengancam akan menutup banyak lubang batu bara di negara itu.

“(Hari ini) sedikit berbeda, karena kita hanya berbicara tentang gaji. Tentu saja, perselisihan saat itu juga tentang gaji tetapi juga tentang, misalnya, tidak menutup tambang,” kata Benassi.(cnnindonesia.com/hm01)

Related Articles

Latest Articles