7.5 C
New York
Friday, April 19, 2024

Imbas Perang Dagang,Ekspor dan Impor China Anjlok Lagi

Hong Kong | Mistar-Ekspor dan impor China merosot lebih besar dari ekspektasi pada September 2019. Penyebabnya adalah melemahnya permintaan, sejalan dengan terus berlakunya tarif dari AS akibat perang dagang dan melambatnya perdagangan global. Dikutip dari Bloomberg, Senin (14/10/19), ekspor menurun 3,2 persen dalam dollar AS dibandingkan periode yang sama tahun lalu, sementara impor anjlok 8,5 persen.

Dampaknya, menurut data Bea dan Cukai China, surplus neraca perdagangan mencapai 39,65 miliar dollar AS. Kalangan ekonom memproyeksikan ekspor turun 2,8 persen, sementara impor ambrol 6 persen.

“Penyebab utamanya jelas adalah melambatnya perekonomian global,” kata Larry Hu, kepala ekonom China di Macquarie Securities Ltd.

Melemahnya data perdagangan China menegaskan pentingnya kesepakatan perdagangan antara China dan AS. Ini lantaran perekonomian China menderita akibat melambatnya permintaan di dalam negeri maupun dari luar negeri. Anjloknya impor menjadi pertanda buruk bagi perekonomian domestik China. “Kesepakatan kecil (antara China dan AS) tentu baik, karena mencegah kondisi bertambah buruk. Namun, ini tidak akan membuat situasi lebih baik,” imbuh Hu.

Ekspor China ke AS anjlok hampir 22 persen pada September 2019 secara tahunan (year on year/yoy), sementara impor merosot hampir 16 persen (yoy). “Ini jelas kehancuran yang terjadi akibat perang dagang,” ujar Iris Pang, ekonom di ING Bank NV di Hong Kong.
Sementara itu, ekspor ke Vietnam melonjak. Menurut Pang, mengubah rute ekspor ke Vietnam merupakan hal baik karena akan menyederhanakan proses dan menghindari tarif impor yang dikenakan AS.

Kesepakatan sementara yang dicapai China dan AS jelas menghambat penerapan tarif lebih lanjut, yang diikuti peningkatan pembelian China terhadap produk pertanian AS. Jika kesepakatan berlanjut, maka keyakinan pelaku usaha akan meningkat, meski belum jelas apakah penerapan tarif lanjutan akan tetap diberlakukan pada Desember 2019 atau tidak.

Makin Sulit

Sebelumnya, World Bank kembali memprediksi pertumbuhan ekonomi yang melambat di negara-negara Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia. Dalam laporan perkembangan ekonomi edisi Oktober 2019 berjudul Weathering Growing Risk, ekonomi Asia Timur dan Pasifik hanya mampu tumbuh 5,8 persen pada 2019, melambat dari 6,3 persen pada tahun 2018.

Pertumbuhan ekonomi juga terus tertekan di tahun 2020 hingga 2021. World Bank memperkirakan, pertumbuhan ekonomu Asia Timur dan Pasifik menjadi 5,7 persen di tahun 2020 dan 5,6 persen di tahun 2021. Ekonom Utama Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, Andrew Mason mengatakan, pertumbuhan yang melambat itu disebabkan oleh ketidakpastian global, termasuk perang dagang AS-China yang belum membaik.

Perang dagang ini memicu penurunan investasi dan ekspor di negara-negara dunia. Pun menguji ketahanan ekonomi di kawasan Asia Timur dan Pasifik. “Ketegangan perdagangan yang berkepanjangan antara AS-China akan terus menekan pertumbuhan investasi. Apalagi perlambatan di China lebih cepat dari yang kami perkirakan. Belum lagi brexit dan ketegangan AS-Eropa bisa melemahkan permintaan eksternal untuk ekspor,” kata Andrew Mason dalam konferensi video di Jakarta, pekan lalu.

Negara Berkembang Negara berkembang juga bakal sulit untuk menyamai Tiongkok ketika perusahaan berpindah untuk menghindari tarif yang dilayangkan Presiden AS Donald Trump.

Pasalnya, infrastruktur di kebanyakan kawasan negara berkembang belum cukup memadai. “Ketika banyak perusahaan mencari cara untuk menghindari tarif, akan sulit bagi negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik untuk menggantikan Tiongkok karena infrastruktur yang tidak memadai dan skala produksi yang kecil dalam jangka pendek,” ucap dia.

Ketika pertumbuhan melambat seperti itu, kata Andrew, bukan tidak mungkin kemiskinan bakal meningkat. Pihaknya memperkirakan, hampir seperempat penduduk di negara berkembang hidup di bawah garis kemiskinan.
“Perkiraan itu hampir 7 juta orang lebih banyak dari yang kami proyeksikan pada bulan April, ketika pertumbuhan kawasan terlihat lebih kuat pada saat itu,” imbuh Andrew.

Tidak hanya itu, tingkat utang yang tinggi di negara kawasan juga membatasi kemampuan mereka menggunakan kebijakan fiskal dan moneter untuk mengurangi dampak perlambatan. Reformasi Kebijakan Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan di atas, World Bank menyarankan negara-negara untuk menggunakan kebijakan fiskal/moneter sekaligus menjaga kesinambungan fiskal dan utang.

“Negara juga perlu melakukan reformasi untuk meningkatkan produktifitas. Reformasi itu termasuk reformasi peraturan yang meningkatkan iklim perdagangan dan investasi,” pungkasnya.(kompas/hm01)

Related Articles

Latest Articles