Jakarta, MISTAR.ID
Tepat 29 tahun lalu, Zulfikar Rakhmat terlahir dengan kekurangan oksigen pada otaknya. Medis mengistilahkannya dengan ashpyxia neonatal, Fikar mengalami penurunan motorik, bahkan kesulitan menggenggam alat tulis.
Zulfikar Rakhmat, peraih gelar S3 Hubungan Internasional di Manchester University mengenang kembali perjalanan studinya sebagai seorang disabilitas di Inggris.
Belum lagi masuk Sekolah Dasar, Fikar telah terganjal hal paling mendasar yang harus dia miliki sebagai pelajar. Ya, menulis itu tadi. Dia sangat sulit memegang alat tempur pertama dan utamanya itu.
Jangan dulu berbicara bagaimana nanti Fikar menulis, mengerjakan tugas-tugasnya, atau punya mimpi memiliki nilai tinggi. Betapa tidak, mencari sekolah yang mau menerima keterbatasannya saja, sudah setengah mati rasanya.
“Fungsi tangan yang sempurna itu penting dalam kehidupan sehari-hari dan menulis sangat penting ketika sekolah. Sehingga ketika kecil itu mencari sekolah tidak mudah,” tuturnya fikar.
Baca juga:Â Tahun Ini, Penyandang Disabilitas Masuk Prioritas Vaksinasi Covid-19
Saat itu di Semarang, beberapa sekolah umum, baik negeri atau swasta sepertinya enggan menuntun Fikar yang sepaket dengan kekurangannya itu. Dimasukkan Sekolah Luar Biasa (SLB) pun rasanya tidak pas. Sebab Fikar bukanlah orang yang mengalami penurunan kapasitas intelektual.
Ada orang tua yang selalu ada di belakangnya saat menempuh tapak-tapak awalnya tersebut. Lobi-lobi dilancarkan. Tawar-menawar ke pihak sekolah tak terhindarkan. Dinas Pendidikan ikut digeruduk, bahkan telinga walikota mesti dibisiki.
“Akhirnya saya mendapatkan sekolah setelah kian kemari. Akhirnya saya diperbolehkan tes masuk sekolah, saya lolos,” ujarnya.
Enam tahun di sekolah dasar, merupakan jalan terjal demi membangun pondasi diri sebagai pelajar. Fikar kembali menghadapi pensilnya. Berdamai dengan tangannya. Tak jarang dia meminta tambahan waktu ketika bertatapan dengan lembar tugas maupun lembar ujian.
“Jadi ya memang mau tidak mau akhirnya harus menulis. Saya bisa, meskipun tidak bagus dan membutuhkan waktu lama. Karena itu ya kalau ujian harus dikasih waktu tambahan dan semacamnya,” jelas Fikar.
Tertatih di ruang kelas. Fikar juga dihantam walau baru keluar satu langkah dari kelasnya. Dia dijadikan bahan perundungan. Bahkan pada puncaknya, tubuh Fikar adalah landasan kepalan tinju dan hentak kaki para murid di sekolah tersebut.
“Saya mendapatkan intense bullying yang levelnya tinggi, selain bully verbal, secara fisik saya ditendang, dikunci di kamar mandi, bahkan di kelas empat SD itu saya pernah kena gegar otak karena didorong, jadi kepala saya bocor waktu itu,” bebernya.
Tapi bagi Fikar kecil, hal itu bukanlah yang terperih. “Yang paling pedih adalah ketika orang tak percaya bahwa sebenarnya saya bisa melakukan hal-hal yang orang lain bisa lakukan. Itu biasanya datang dari guru, guru kita sendiri, mereka tidak percaya bahwa saya bisa,” sebut Fikar diiringi lenguh panjangnya di ujung telepon.
Lagi-lagi, orang tua Fikar menjadi malaikat pada situasi yang serba tragedi itu. Fikar seolah kebal dengan hal-hal menakutkan itu. Hingga akhirnya mau tidak mau, dia tetap mesti lanjut ke Sekolah Menengah Pertama (SMP).
“Terus terang, dulu saya tidak begitu menyukai sekolah, karena saya di-bully. Jadi memang SD dan SMP saya di Indonesia itu biasa-biasa saja, enggak begitu bagus nilainya,” tuturnya.
Baca juga:Â Kemensos RI, Bantu Penyandang Disabilitas Alpha Omega Karo
Namun, di SMP Fikar mendapat angin segar. Kendala menggunakan alat tulis bisa terpecahkan sesaat. Dia diizinkan menggunakan laptop di kelas, guna mencatat hal-hal penting yang ia terima di ruang kelas.
Angin segar itu hanya berhembus sesaat. Selang berapa tahun di SMP, alat tulis harus ia genggam kembali. Penyebabnya Ujian Nasional (UN).
Lembar Jawaban Komputer (LJK) menjadi monster terakhirnya di sekolah menengah itu. Terbayang olehnya, betapa sulitnya membuat lingkaran sempurna menandai jawaban yang dia pilih.
“Melingkari LJK saya enggak bisa. Dan sekolah harus lobby ke Kemendikbud di Jakarta. Untung di-approval saya didampingi untuk mengisi jawaban. Jadi, kalau teman saya takut bisa kerjain apa enggak, saya takutnya double. enggak cuma ngerjainnya, tapi apakah saya dapat bantuan atau tidak nantinya. Tapi alhamdulillah itu bisa,” ungkap penggemar aktor film action Denzel Washington itu.
Jeri dan perih akhirnya terhenti seiring Fikar mengetuk ruang kelas barunya di SMA. Dia meninggalkan gelapnya masa SD dan SMP itu tanpa sisa. Dia pergi sejauh 7.337 kilometer dari Semarang. Fikar melanjutkan masa sekolahnya di Qatar, Uni Emirat Arab.
Di Qatar, kata dia, teman sekolahnya lebih ramah dan mengerti jika Fikar berbeda. Lingkungan yang jauh lebih sehat itu membuat Fikar mampu berprestasi di sekolah tersebut. Kecintaan pada pendidikan mulai tumbuh di negera yang masuk dalam jajaran negeri terdamai di dunia itu.
“Saya pindah ke Qatar karena ikut orang tua mendapat pekerjaan di sana. Saya menemukan lingkungan baru, teman-teman yang suportif, akhirnya saya jatuh cinta dengan sekolah, dan nilai saya itu meningkat drastis,” ujar kelahiran Pati, Jawa Tengah itu.
Fikar terus mencetak nilai terbaik, hingga mendapatkan beasiswa dari pemerintah setempat. Beasiswa itu terus berlanjut ketika dia masuk S1 di Qatar. Tak main-main Fikar lulus lebih cepat dari masa studi yang seharusnya. S1 dilalapnya hanya dalam waktu tiga tahun dengan Indeks Prestasi Komulatif 3,93 skala 4,0.
Atas prestasinya itu, diapun mendapat beasiswa S2 dan S3 di Manchester University, Inggris. Di Inggris, bayang-bayang perundungan ternyata muncul kembali meski tak sesering yang dia alami ketika dulu di Indonesia. Namun sepertinya saat itu, dia telah kebal dari luka masa kecilnya saat bersekolah di Indonesia.
“Tapi itu tidak masalah, saya tetap semangat dan saya tetap lulus, alhamdulillah saya menyelesaikan S3 doktor saya di usia ke 26, kemudian saya kembali ke Indonesia dan saya menjadi dosen,” terangnya.
Memang sejak S1 dia telah mendalami segala hal yang berbau Tiongkok. Mulai dari hubungan kerja sama Tiongkok di Timur tengah, hingga mengakhiri disertasi S3-nya yang membahas peran Tiongkok di Indonesia. Itulah modalnya melamar dosen di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
“Sampai ngajar juga di UII itu Hubungan Internasional tapi mata kuliah yang saya ampu Timur Tengah dan Tiongkok,” sebutnya.
Kini Fikar di Tanah Air bukan lagi sebagai bahan bully-an. Dia telah berubah menjadi seorang yang digugu dan ditiru. Jalan tak mudah masa lalu tak membuatnya patah arang. Fikar adalah sosok yang terus berupaya ditengah keterbatasan dan halang rintang kehidupan.
Baca juga:Â Dorong Daya Saing Disabilitas, Mensos Risma Resmikan Balai Kreasi Bogor
“Intinya selalu mencari jalan keluar, jangan kita cuma bisa mengeluh. Ketika lampu padam, jangan mengeluh. Cobalah menyalakan lilin,” tuturnya.
Pulang ke Indonesia, bagi dia bukan sekadar memboyong ilmu dan membagikannya. Tujuan mulia turut dirancangnya. Fikar mencoba menyelamatkan anak bangsa yang kini berada di posisinya berapa tahun yang lalu.
“Saya punya mimpi ingin memperjuangkan teman-teman yang juga difabel untuk mencapai kesuksesan yang sama dengan yang saya dapatkan. Saya sekarang mendirikan Sekolahbilitas, organisasi yang bergerak di bidang pendidikan untuk teman-teman disabilitas. Dengan Sekolahbilitas, saya mau bantu teman berkebutuhan khusus agar bisa mendapatkan akses pendidikan yang layak untuk mendapatkan mimpi yang mereka inginkan,” tutup pria yang ingin menjadi guru besar itu. (medcom/hm06)