Tokyo | MISTAR.ID – “Old Men Never Die” (Piremard’ha Nemimirand) tidak menampilkan tokoh-tokoh utama yang muda dan berparas menawan, melainkan sekumpulan kakek-kakek keriput yang sibuk mencari malaikat Izrail si pencabut nyawa karena telah mengabaikan mereka selama bertahun-tahun.
“Ini semua gara-gara Aslan!” ujar para kakek bangkot, menyalahkan satu anggota geng mereka yang dicap membawa “sial” karena sejak pindah ke desa mereka 45 tahun lalu, angka harapan hidup meningkat drastis. Bahkan tak ada orang yang meninggal sama sekali.
Salah satu dari geng itu kesal karena Aslan membuat bisnisnya sebagai penyelenggara pemakaman jadi bangkrut.
Sementara Aslan (Nader Mahdilou) menyalahkan fenomena aneh bin ajaib ini pada masa lalunya sebagai tukang jagal. Ia telah menghabisi nyawa begitu banyak orang sampai dicoret dari daftar kunjungan si pencabut nyawa. Masa lalunya itu juga yang mendorongnya pindah ke desa tersebut, karena khawatir menghadapi kemarahan keluarga orang-orang yang telah ia cabut nyawanya.
Kakek-kakek ini, kalau tidak nongkrong di sebuah kedai teh untuk melihat Sara (Neda Haghshenas), perempuan muda yang jadi oase di desa penuh warga uzur, sibuk berdiskusi mencari cara untuk bunuh diri sambil berendam di pemandian.
Keinginan mereka untuk mengakhiri hidup yang terlalu lama dihalangi oleh tentara-tentara yang ditugasi pemerintah untuk menjaga agar para lansia tengil itu tetap sehat walafiat.
“Waktu muda kita tidak menikah, mungkin ini alasan Tuhan marah pada kita,” ujar salah satu kakek yang menganggap umur panjang sebagai bentuk hukuman Tuhan padanya.
Kemasyhuran desa tersebut menimbulkan ketertarikan dari orang di tempat lain yang ingin sembuh dari sakitnya. Mereka berbondong-bondong ingin pindah agar bisa hidup lebih lama.
Di sisi lain, Aslan dan kawan-kawannya masih mencari akal untuk menghilangkan nyawanya sendiri, membuat tentara-tentara muda nyaris tak bisa bersantai karena mereka harus selalu jeli memantau geng kakek-kakek uzur agar tidak melukai diri sendiri.
“Old Men Never Die” adalah film panjang pertama dari sutradara Iran Reza Jamali. Film berdurasi 85 menit ini dibintangi juga oleh Hamdollah Salimi, Salman Abbasi, Velayat Khoobdel dan Sefat Ahari.
Reza menyuguhkan tema unik ini dalam gaya black comedy yang didukung akting jempolan para aktor yang mayoritas sudah berumur.
Penonton terkikik ketika Aslan disemangati oleh teman-temannya untuk loncat dari bukit (“ayo cepat lompat! Tidak ada yang lihat!”) di saat tentara yang bertugas sedang tunggang langgang berusaha menggagalkan usahanya.
Kejadian ini terjadi berulang-ulang dalam modus bervariasi: berusaha menenggelamkan diri di bak pemandian (para lansia hanya menyaksikan tanpa berusaha menghentikan atau menyelamatkan) atau menghirup gas kompor.
Ironi yang disajikan Reza memberikan tambahan humor, seperti ketika para kakek ini begitu bersemangat mendengar kabar ada seorang lansia yang sekarat.
Mereka datang beramai-ramai untuk meminta orang tersebut menyampaikan salam pada malaikat Izrail agar mereka bisa cepat menyusul.
Atau ketika ada lansia dengan penyakit paru-paru yang diboyong ke sana, tapi bukannya mendoakan, mereka malah penuh harap ingin malaikat kematian segera datang menjemput nyawa si pasien.
Namun ketika Izrail yang dinantikan akhirnya datang, sisi asli manusia yang sebenarnya akan terungkap.
“Old Men Never Die” menjadi medium untuk mengintip kehidupan ala Timur Tengah di Iran. Minum teh di kala senggang, bersantai di karpet empuk sambil lesehan, juga para perempuan berkerudung.
Keindahan alam digambarkan lewat long shot statis pada beberapa adegan, hanya memperlihatkan objek yang bergerak dari satu titik ke titik lain, entah itu orang yang berjalan menuruni bukit atau mobil yang menembus jalan berhias ilalang.
Perjalanan serupa dialami oleh penonton ketika menyaksikan “Old Men Never Die”. Dimulai dari tawa, emosi diajak naik turun hingga yang tersisa adalah terperangah.
Sumber: Antara
Editor: Luhut Simanjuntak