10.7 C
New York
Wednesday, March 27, 2024

Harga Minyak Dunia Amblas 30 Persen

Tokyo, MISTAR.ID

Harga minyak dunia anjlok sekitar 30% pada hari Senin (9/3/20). Kondisi ini terjadi setelah Arab Saudi memangkas harga dan menetapkan rencana untuk peningkatan dramatis dalam produksi minyak mentah pada bulan April.

Melansir Reuters, harga minyak turun sebanyak sepertiga menyusul langkah Arab Saudi untuk memulai perang harga setelah Rusia menolak memangkas produksi yang diusulkan oleh OPEC untuk menstabilkan pasar minyak yang dilanda kekhawatiran atas penyebaran global virus corona.

Data yang dihimpun Reuters menunjukkan, harga minyak mentah berjangka jenis Brent turun US$ 13,29, atau 29% menjadi US$ 31,98 per barel pada 0433 GMT. Pada transaksi sebelumnya, harga minyak sempat melorot ke posisi US$ 31,02, terendah sejak 12 Februari 2016.

Harga minyak Brent berjangka berada di jalur penurunan harian terbesar sejak 17 Januari 1991, pada awal Perang Teluk pertama. Sementara, harga minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) turun US$ 13,29, atau 32%, menjadi US$ 27,99 per barel, setelah sebelumnya sempat menyentuh US$ 27,34, terendah sejak 22 Februari 2016.

Harga acuan minyak mentah AS ini berpotensi menuju penurunan terbesar dalam catatan sejarah, yakni melampaui 33% yang terjadi pada Januari 1991.

“Saya pikir semua perkiraan ada di luar sana,” kata Jonathan Barratt, kepala investasi di Probis Securities di Sydney kepada Reuters. “Ini sepertinya berlomba ke level bottom untuk mengamankan pesanan.”

Disintegrasi pengelompokan yang disebut OPEC yang terdiri dari OPEC plus produsen lain termasuk Rusia- mengakhiri lebih dari tiga tahun kerja sama dalam mendukung pasar. Yang terbaru, mereka bekerjasama untuk menstabilkan harga di bawah ancaman dari dampak ekonomi akibat wabah virus corona.

Dua sumber mengatakan kepada Reuters pada hari Minggu, Arab Saudi berencana untuk meningkatkan produksi minyak mentahnya di atas 10 juta barel per hari (bph) pada bulan April setelah kesepakatan untuk membatasi produksi berakhir pada akhir Maret.

Eksportir minyak terbesar dunia itu sepertinya berusaha menghukum Rusia, produsen terbesar kedua di dunia, karena tidak mendukung pemangkasan produksi yang diusulkan minggu lalu oleh Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).

Arab Saudi, Rusia, dan produsen besar lainnya terus berjuang untuk kembali meraih pangsa pasar seperti periode 2014 dan 2016 untuk mencoba menjegal minyak Amerika Serikat. Kini, produsen AS yang telah tumbuh menjadi produsen minyak terbesar di dunia karena aliran dari ladang minyak serpih menggandakan produksinya dalam lebih dari satu dekade terakhir.

“Ini jelas merupakan awal dari perang harga, dan Saudi cepat bereaksi selama akhir pekan, mengurangi harga jual resmi April untuk minyak mentah secara signifikan,” kata ING Economics dalam sebuah catatan.

Arab Saudi selama akhir pekan juga memangkas harga jual resminya untuk bulan April untuk semua nilai minyak mentah ke semua tujuan antara US$ 6 dan US$ 8 per barel.

Perang Harga, Beban Impor Berkurang

Sri Mulyani bilang penurunan harga minyak mentah dunia juga karena turunnya permintaan seiring dengan merebaknya virus korona (Covid-19). Dengan begitu, Sri Mulyani mengaku sangat serius memantau pergerakan harga minyak mentah dunia ini. Apalagi penurunan harga ini menjadikan sebuah perang harga antar negara produsen.

“Namun yang mungkin sangat cukup mengagetkan adalah dari Saudi kemudian membuat suatu langkah yang jauh lebih bold, yaitu dengan memberikan discount harga minyak yang lebih dalam lagi, sehingga ini menjadi perang harga,” ujarnya.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengungkapkan penurunan harga minyak dunia akan berdampak besar bagi pasar keuangan. Penurunan itu menjadi tambahan sentimen negatif bagi investor.

Namun di sisi lain, lanjut Sri Mulyani, penurunan harga minyak menjadi berkah bagi PT Pertamina (Persero) lantaran beban impornya menjadi lebih rendah.

“Tentu akan lihat dari berbagai aspek, kalau selama ini impor minyak kita cukup besar, berarti penurunan harga minyak ini jadi salah satu yang bisa memberikan Pertamina menurunkan beban untuk mengimpornya. Itu saya harap nanti akan terlihat dalam neraca Pertamina,” ujarnya. Mengenai dampak kepada APBN, Sri Mulyani mengaku akan meneliti lebih jauh lagi. Meskipun penerimaan negara menjadi sektor yang paling terdampak.

“Meski sekarang nilai tukar makin mendekat ke nilai asumsi, tapi dari sisi harga dan produksi pasti jauh di bawah APBN. Kita lihat nanti pengaruhnya terhadap APBN dalam setahun ini nanti dan sekaligus untuk membuat proyeksi 2021,” ungkapnya.

Sumber: Antara
Editor: Jelita

Related Articles

Latest Articles