Medan, MISTAR.ID
Dari data yang diperoleh, pada tahun 2021 sebanyak 80 persen orang di Indonesia menggunakan antibiotik tanpa resep dokter.
Angka ini diklaim signifikan dapat menyebabkan antimicrobial resistence (AMR). Sedangkan selama 2024, sebanyak 73,92 persen apotek melayani pembelian antibiotik tanpa resep kepada masyarakat.
“Tingginya angka masyarakat yang menggunakan antibiotik tanpa resep dokter mempercepat silent pandemic yang sudah ada di depan mata,” kata Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Taruna Ikrar, saat menerima penghargaan sebagai ilmuan yang berpengaruh dari Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi, dan Ilmu Kesehatan Universitas Prima Indonesia, Jalan Sampul, No 3, Kota Medan, pada Sabtu (4/1/25).
Baca juga:BPOM Pastikan Keamanan Makanan Jelang Nataru, termasuk yang di Parsel
Dengan tegas, Taruna menyebutkan jika apotek seharusnya tidak melayani pembelian obat tanpa resep dokter. Padahal, kata Taruna, BPOM telah membuat aturan dan melarang apotek melayani pembelian antibiotik tanpa resep dokter.
“Ke depannya, BPOM akan membuat aturan yang lebih tegas dan ada sanksi tegas bagi siapa yang melanggarnya. Untuk itu, kita juga harus membimbing dan memberitahu masyarakat agar tidak mengonsumsi antibiotik sembarangan karena dapat mempercepat terjadinya silent pandemic,” kata Taruna.
Ia menjelaskan, ada tiga antibiotik yang sering dikonsumsi masyarakat indonesia tanpa resep dokter, yaitu amoxicilin, cefadroxil, dan cefixisme.
“Penisilin yang kita kenal sebagai obat paling ampuh untuk mengalahkan berbagai bakteri bahkan virus, saat ini sudah resistensi terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Kemudian, peneliti menciptakan amoxicillin dan cefadroxil. Namun, kini amoxcilin sudah resistensi terhadap beberapa bakteri sebanyak 43 persen. Contohnya, 100 orang terpapar virus atau bakteri, maka ada 43 orang yang sudah resisten terhadap antibiotiknya,” jelasnya.
Baca juga:Usai Pastikan Pangan Bebas Bahan Berbahaya di Tapteng, BBPOM Keluarkan Sertifikat
Menurut Taruna, silent pandemic tidak hanya berdampak pada dunia kesehatan. Tetapi berdampak pada ekonomi global.
“Saat Covid-19, ekonomi dunia sudah porak-poranda. Bagaimana jika silent pandemic terjadi? Bank Dunia sendiri memperkirakan kerugian ekonomi global akibat resistensi antimikroba dapat mencapai 100 triliun dolar pada 2050,” jelasnya.
Dokter yang pernah menjalankan Research Scholar di Harvard University itu memaparkan bahwa upaya mengatasi resistensi antimikroba membutuhkan strategi komprehensif. Tidak hanya fokus pada pengembangan obat baru, tetapi juga pada perubahan perilaku dan sistem.
“Penelitian di bidang resistensi antimikroba akan semakin difokuskan pada pendekatan inovatif. Misalnya terapi fago yang jadi alternatif menjanjikan. Terapi fago bisa membunuh bakteri secara spesifik,” paparnya.
Baca juga:6 Kosmetik Berbahaya Disita Polisi dan BPOM, Berikut Datanya
Selain itu, kampanye secara nasional juga dibutuhkan.
“Memperketat pengawasan distribusi antibiotik hingga ke tingkat sarana pelayanan farmasi. Sebab, di Indonesia dipengaruhi oleh faktor geografis, demografis, dan sistem kesehatan,” tutupnya. (elfa/hm16)