9.4 C
New York
Wednesday, March 27, 2024

Sendiri Disangkar Emas

MISTAR.ID – Kufikir, bahagia itu ketika kita bisa membeli segalanya dengan uang. Kufikir, kepuasan itu ketika bisa memiliki harta sebanyak-banyaknya. Kufikir, bahagia itu ketika bisa tertawa sendiri. Kufikir… banyak hal yang aku fikirkan bahwa harta, tahta adalah segalanya. Ternyata bukan…

Aku terlahir dari keluarga yang kurang mampu, meskipun tidaklah terlalu miskin. Tetapi aku pernah dendam pada kehidupan. Aku benci, karena untuk bisa membeli gorengan saja aku pernah tidak mampu. Ayah yang hanya sebagai seorang supir angkutan kota dan ibu buruh serabutan rumah tangga, membuat kami harus berhemat untuk bertahan hidup. Bahkan diusia yang masih belia, aku berusaha untuk bisa mendapatkan penghasilan dengan ikut ikutan membantu ibuku. Setidaknya, aku bisa mendapat uang jajan lebih.

Yah, aku dendam dengan kemiskinan. Terpatri dalam kamus hidupku, aku tidak mau menikah dengan laki-laki yang tidak mapan. Bisa kurasakan betapa pahit hidup tanpa uang. Aku yang memiliki paras kecantikan di atas rata-rata, memang sejak remaja sudah mulai memilih milih dalam pergaulan, terutama laki-laki. Buatku, biarlah tua, asal tajir.

Yah, benar saja. Do’aku sepertinya begitu mudah dikabulkan Tuhan. Seorang laki-laki tua tertarik padaku. Dia adalah seorang duda kaya, orang tua dari anak didikku. Awalnya ia meminta agar aku memberikan bimbingan khusus pada anaknya yang pada waktu itu masih usia dini. Aku memang bisa mengambil hati anak-anak. Itu sebabnya, ia tidak ragu mengajakku untuk menikah diusiaku yang masih belia.

Waktu itu, keluargaku tidak setuju. Bagaimana mungkin, usiaku yang waktu itu masih berusia 18 tahun, menikah dengan lelaki yang hampir 40 tahun. Pria tajir yang banyak duit itu, dimataku adalah sosok yang tampan dan rupawan, ditambah lagi dengan fasilitas hidupnya yang begitu mewah.
Singkat cerita aku pun menikah. Orang tuaku tidak mampu melarangku setelah aku dibawa kabur olehnya. Aku pun menemukan mimpiku, menjadi ratu dalam keluarga besar yang kaya raya yang tidak pernah aku bayangkan dengan kekayaan yang dimilikinya.

tetapi apa yang terjadi dalam perjalanan perkawinanku, ketika keluarga besarnya mengetahui kalau aku hamil. Ku fikir mereka akan merasa bahagia, karena suamiku akan mendapatkan kebahagian lain. Tapi, keluarga besar itu marah besar pada suamiku yang terdengar olehku. Mereka dengan caranya meminta aku untuk menggugurkan, mulai dari cara yang kasar, hingga cara yang paling halus akhirnya dilakukan mereka.

Aku bersikeras tidak mau menggugurkan kandunganku. Tapi entah mengapa dan entah apa yang terjadi padaku. Pada saat proses kehamilan, tubuhku tidak mampu menyerap makanan. Aku fikir ini hanya karena bawaan orang hamil. Akhirnya, anakku meninggal sebelum sempat lahir. Rasanya begitu terhempas. Dan lebih terhempas lagi, setelah proses itu, aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres dalam rahimku. Aku tidak bisa lagi hamil.

Waktu terus berlalu, aku hidup dalam kesepian, satu persatu sepertinya kebahagiaanku tercabut. Anak-anak suamiku kian besar. Mereka yang dulu mampu menjadi penghiburku, lama kelamaan menjadi duri dalam dagingku dengan kenakalan dan kemanjaan mereka yang tidak mamdiri. Suamiku, mulai rentan, ia sering stres, hingga akhirnya ia pun strok. Maka aku menjadi perawatnya yang mau tak mau harus setia. Kebahagiaanku rasanya hampir punah. Aku tak lebih seperti babysiter yang harus merawat aki-aki yang kini tidak berdaya. Rasanya, begitu cepat pula Tuhan memberikanku cobaan, semudah aku mendapatkan keinginanku menjadi orang kaya. Nyatanya, harta bukanlah kebahagian yang sebenarnya. Harta juga belum tentu mampu membeli kebahagiaan. Sudahlah… Kunikmati saja kini yang menjadi pelajaran bagiku. (Rikayoesz)

Related Articles

Latest Articles