Medan, MISTAR.ID
Dalam masa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, netralitas para guru sebagai pendidik yang memiliki pengaruh besar terhadap siswa dan masyarakat, menjadi sorotan penting.
Pengamat komunikasi politik, Dr Emrus Sihombing, mengkategorikan guru menjadi dua kelompok, yakni guru swasta dan aparatur sipil negara (ASN) yang disebut juga dengan pegawai negeri sipil (PNS).
Dosen Universitas Pelita Harapan ini mengatakan bahwa guru swasta bebas memilih atau mendukung pasangan calon (paslon). Namun untuk tenaga pengajar PNS, baik guru maupun dosen, harus netral.
“Tetapi dia punya hak untuk menentukan pilihannya tetapi tidak boleh mengkampanyekan mendukung paslon atau partai tertentu,” katanya kepada Mistar.id, Jumat (1/11/24).
Baca juga: Netralitas ASN Jelang Pilkada, Pengamat Politik: Semua Harus Diawasi
Dalam organisasi atau perkumpulan para guru di Indonesia, kata Emrus, bisa saja gabungan dari guru swasta maupun negeri. Namun sebagai organisasi, sejatinya para guru sebagai tokoh pendidik tidak berpihak kepada partai atau paslon tertentu di Pilkada.
“Karena mereka kan panutan masyarakat, guru bagi murid-muridnya. Jangan sampai menggiring. Justru mereka harus mendidik masyarakat untuk merdeka memilih siapapun itu. Kepala dinas pendidikan juga tidak boleh berpihak,” lanjutnya.
“Saya berbicara tentang pilkada keseluruhan ya. Jangan sampai nanti diperjualbelikan misalnya kepala dinas pendidikan, kepala sekolah dan lain-lain, dan itu bisa terjadi di panggung-panggung belakang,” tambahnya lagi.
Kemungkinan jual beli jabatan, kata Emrus, perlu disikapi agar guru PNS tidak berpihak pada satu paslon. Janji-janji yang dilakukan di ‘belakang panggung’ inilah yang ia sebut sulit dikontrol.
“Maka nggak usah heran, ketika pilkada satu kepala daerah menang, biasanya diganti kepala dinasnya. Diganti atau bertahan kan begitu,” tukasnya.
Baca juga: Netralitas ASN Siantar Jelang Pilkada Serentak, BKN Awasi Lewat Sistem Informasi
Pengamat komunikasi publik ini juga menyebutkan, bahwa guru berpotensi untuk mendekati masyarakat. Karena guru memiliki pengaruh.
“Guru di desa, di daerah itu panutan loh. Saya ketika beberapa bulan lalu melakukan survei politik menjelang pilkada, pencalonan di Siantar, ada yang tidak tau akan memilih paslon mana, ‘keluarga, tokoh masyarakat atau guru yang bisa menjelaskan dan mengarahkan kami, kami ikut saja deh,” tuturnya.
Hal ini menjadi bukti bahwa guru dapat diikuti oleh masyarakat. Dan seharusnya, guru menjelaskan untuk memilih sesuai keinginan namun tidak boleh golongan putih (golput).
“Itu yang harus mereka sounding. Golput kan walaupun itu hak warga negara, kan tidak baik. Tapi guru boleh dong supaya mendidik masyarakat, mendidik demokrasi, supaya tidak golput,” tukasnya.
Fungsi guru untuk mendidik, juga di bidang hak-hak demokrasi, baik bagi warga negara atau murid. Guru boleh memulai dengan mengedukasi agar masyarakat melihat dari visi misi maupun program para paslon.
Jika guru tidak netral dalam pilkada, Dr. Emrus mengatakan, hal ini akan berdampak tidak tumbuhnya demokrasi dengan baik di daerah tersebut.
Ia berharap, guru harus menjadi teladan di semua bidang termasuk demokrasi, bagi masyarakat. Agar masyarakat menggunakan haknya sesuai dengan hati nurani.
“Di Indonesia, prinsip demokrasi adalah setiap warga negara punya hak, punya kedaulatan untuk menentukan pilihannya tanpa dipengaruhi oleh ketokohan suatu guru,” tutupnya. (susan/hm27)