17 C
New York
Friday, September 6, 2024

Ini Makna Fenomena Split Ticket Voting pada Pilkada 2024

Medan, MISTAR.ID

Dalam ilmu politik, split ticket voting adalah diskrepansi atau selisih antara total suara partai pengusung dengan total suara pasangan calon (paslon).

Pengamat politik, Boy Anugerah berpendapat bahwa fenomena split ticket voting perlu dicermati pada Pilkada 2024, karena kemungkinan besar akan terjadi.

Di Sumatera Utara (Sumut), ada beberapa calon kepala daerah yang diusung oleh koalisi gemuk seperti paslon Bobby Nasution-Surya di Sumut, Rico Waas-Zakiyuddin di Medan, dan lainnya.

Lantas, apakah besaran dukungan parpol ini akan linier dengan suara yang mereka peroleh nantinya?

Baca juga: Sumut Daerah Tertinggi Melawan Kotak Kosong di Pilkada 2024

“Belum tentu. Ada potensi split ticket voting di situ. Dukungan elit parpol belum tentu selaras dengan dukungan akar rumput parpol,” ujar Boy, Jumat (6/9/24).

Menurutnya, untuk level daerah, faktor-faktor seperti ketokohan, rekam jejak, visi misi berpotensi lebih menentukan. Ini yang harus dioptimalkan oleh kandidat yang didukung oleh koalisi minor.

Selanjutnya, Eks Analis Lemhannas RI ini menjelaskan bahwa pada Pemilu Februari 2024 yang lalu, split ticket voting terjadi. Pada paslon Ganjar-Mahfud misalnya, total suara partai pengusungnya plus minus 22,5 persen, sedangkan Ganjar-Mahfud sendiri hanya mendapat suara 16,47 persen.

Artinya, ada split ticket voting sebesar plus minus 6 persen di situ. Ini juga berlaku untuk pasangan Anies-Muhaimin. Total perolehan mereka di Pilpres sebesar 24,95 persen suara, sedangkan partai-partai pengusungnya memperoleh sekitar 28,6 persen suara. Ada split ticket voting sebesar 3,65 persen suara di situ.

Baca juga: UU Pilkada Digugat, Minta Kotak Kosong Ada di Kertas Suara

Jika kasus split ticket voting pada pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud menunjukkan suara paslon lebih kecil dibandingkan suara partai pengusung, pada kasus Prabowo-Gibran justru sebaliknya. Pasangan ini memperoleh sekitar 58 persen suara, hampir 11 persen di atas perolehan suara partai-partai pengusungnya.

“Apa yang bisa kita baca dari fenomena tersebut? Pertama, suara parpol tidak secara otomatis menjadi suara paslon. Kedua, ada faktor-faktor lain yang menentukan suara pemilih di bilik suara seperti party id, ketokohan paslon, rekam jejak, visi misi, aspek sosiokultural, bahkan faktor X yang sulit dijabarkan,” ungkapnya.

Kemudian Boy mengambil contoh pada kasus tingginya suara PDIP di Jateng dan Jatim, tapi suata paslon tertinggi justru Prabowo-Gibran. Hal ini menurutnya besar kemungkinan juga berlaku di Pilkada.

“Jadi dengan koalisi gemuknya, paslon Bobby-Surya ataupun Rico-Zaki tidak sertamerta pasti menang, potensi split ticket voting patut diwaspadai,” pungkasnya. (maulana/hm25)

 

Related Articles

Latest Articles