18.4 C
New York
Friday, August 23, 2024

Pilkada Inkonstitusional Jika KPU Tak Taat Putusan MK

Medan, MISTAR.ID

Dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah ambang batas perolehan kursi menjadi berbasis suara yang dimiliki partai politik (parpol), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

MK mengubah prasa di Pasal 40 UU No.10 Tahun 2016, yaitu ambang batas perolehan kursi diubah menjadi perolehan suara berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Kemudian 20 persen perolehan kursi diubah menjadi 7,5 persen apabila DPT di salah satu provinsi berjumlah 2 juta DPT.

Dengan amar putusan tersebut, cukup dengan 7,5 persen suara dalam pemilihan legislatif (pileg) kemarin, parpol sudah bisa mengusung calon dalam kontestasi Pilkada 2024.

Baca juga:Senin Depan DPR dan KPU Bahas PKPU Sesuai Putusan MK

Guru Besar Universitas HKBP Nommensen (UHN), Prof Marlan Hutahaean menjelaskan bahwa putusan MK sudah final dan binding (mengikat). Sudah tidak bisa diganggu gugat lagi.

“Kalau buat UU itu kan ada alasannya, mengapa UU tersebut dibuat, dalam konsideran berdasarkan keputusan MK, UU melaksanakan rencana MK. Jadi kalau isinya berbeda dengan keputusan MK kan tidak mungkin,” jelasnya kepada mistar.id, Jumat (23/8/24).

Menurutnya, karena sudah final dan binding, seharusnya tidak bisa dianulir. Karena di dalam MK ada asas yang lain, yaitu Erga Omnes, bahwa putusan MK tidak hanya mengikat pemohon tapi mengikat seluruh warga negara. Sehingga ada putusan MK yang menguntungkan tapi ada juga yang merugikan.

Baca juga:Pasca Putusan MK, Nama Cakada PDIP Sumut Tak Berubah

“Ini mungkin contoh putusan yang menguntungkan bukan pemohon, Erge Omnes itu begitu. Kalau di kasus-kasus perdata lain itu yang terikat keputusan hanya berapa pihak. Kalau ini yang diuji kan UU-nya,” terangnya.

Pengamat kebijakan publik ini juga mengatakan, bahwa putusan MK ini sudah ada yurisprudensi, peristiwa peraturan 90 ketika Gibran menerima kongres, di sana semua menyatakan final dan binding, final dan mengikat. Termasuk presiden, KPU, dan dari DPR tidak ada sidang.

“Nah sekarang, peristiwa yang sama kenapa justru berbeda pendekatannya. Sekarang ada putusan Mahkamah Agung (MA), MA ini kan memutuskan peraturan PKPU terhadap UU. MK ini kan UU tereksekusi, jadi mana yang lebih tinggi?”sebutnya.

Baca juga:KPU Janji Patuhi Semua Putusan MK

Selanjutnya Marlan berpendapat, bahwa fenomena ini terjadi karena ada berbagai kepentingan dan tekanan pihak tertentu. Hal itu dilihat berdasarkan fakta bahwa pasca putusan MK, Menkumham yang baru langsung dipanggil presiden.

“Setelah Menkumham yang baru dipanggil presiden, besoknya langsung ada Badan Legislatif (Baleg) yang dipercepat itu. Gak biasanya, makanya kan jadi pertanyaan, ada apa?” lanjutnya.

Kemudian Marlan menegaskan, karena putusan MK secara konstitusional sudah final dan binding, apabila putusan ini tidak dipakai, berarti perhelatan Pilkada jadi inkonstitusional.

“Apabila lembaga KPU tidak mentaati keputusan MK, maka hasil produk-produk dari KPU ke depan, seperti hasil Pilkada, bisa dibatalkan karena dianggap inkonstitusional,” pungkasnya. (maulana/hm17)

Related Articles

Latest Articles