22 C
New York
Wednesday, August 7, 2024

Melihat Lebih Dekat Perjuangan Hidup Pedagang Asongan-Manusia Silver di Medan

Medan, MISTAR.ID

Medan adalah kota yang banyak melahirkan toko-toko agama, politik, dan pendidikan. Selain dikenal karena kultur budayanya yang kuat, kota ketiga terbesar di Indonesia ini juga menjadi megnet banyak investor yang menginvestasikan uangnya untuk membangun bisnis-bisnis seperti, hotel dan pusat perbelanjaan.

Tapi itu hanya tampilan luar saja. Di balik megahnya gedung-gedung berdiri, masih banyak warganya yang harus tidur di pinggiran rel kereta api. Tak sedikit juga sebagian dari mereka tinggal di daerah kumuh, dan tidak memiliki pekerjaan tetap.

Salah satu pekerjaan yang mau tak mau dilakoni yakni berjualan di lampu merah (traffic light) jalan. Di bawah sengatan matahari, mereka berjuang tanpa lelah untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarga.

Siska Boru Hutabarat misalnya. Dia adalah salah satu dari sekian pedagang asongan di persimpangan lampu merah di Kota Medan. Dia dan suaminya menjual air mineral, cemilan dan rokok ketengan.

Ditemui Mistar di tengah aktivitasnya, Siska mengaku memilih menjadi pedagang asongan karena desakan ekonomi. Dia dahulu bekerja sebagai buruh pabrik yang tidak memiliki pendapat tetap, yang membuatnya banting setir, jualan di perempatan lampu merah.

“Jadi saya itu dulu bekerja di pabrik kopi. Kadang barangnya kosong jadi gak kerja. Sementara biaya hidup makin naik,” ujar Siska saat ditemui awal Agustus lalu.

Baca Juga : Hassanudin Ceritakan Hidup Sebagai Pedagang Asongan ke Anak Panti yang Bermimpi Jadi Gubernur

Pekerjaannya sekarang sudah dia lakoni selama 5 tahun. Dia mengaku hasil penjualan bisa menyekolahkan anak dan memenuhi kebutuhan rumah sehari-hari. “Tapi sekarang aja makin susah, orang sudah gak mau beli,” ucapnya.

Berjualan di lampu merah membuat hasil yang dia dapatkan tak menentu. Kadang ada untuk dibawa pulang ke rumah, terkadang juga barus pulang dengan tangan kosong. Namun itu semua tetap dijalani dengan sabar, untuk bertahan hidup di tengah geliat kota metropolitan.

Hal senada disampaikan Lena (30) seorang pedagang tisu, dan barang-barang kecil lainnya di lokasi serupa. Ia menyebut dirinya terpaksa melakoni pekerjaan ini karena desakan ekonomi. “Kerja begini karena desakan ekonomi, anak tiga. Suami tak ada, ya gini lah. Daripada mencuri,” ucap dia.

Tak hanya kaum dewasa, banyak juga anak-anak yang mengais rezeki di perempatan lampu merah di Kota Medan. Mulai dari berjualan, pengamen jalanan, pedagang asongan, bahkan hingga menjadi pengemis atau minta-minta.

Penampakan ini bisa kita temui di persimpangan Jalan Juanda, Jalan Halat, dan Jalan SM Raja. Dengan mengenakan pakaian lusuh dan berdebu, mereka juga tidak menggunakan alas kaki.

Walaupun dalam keadaan seperti ini, mereka masih bisa mengeluarkan senyum dan menyapa saat Mistar mendekat. “Bagi uang jajan lah bang, bagi uang lah bang,” ucap beberapa diantara mereka.

Syahrial Siregar
Syahrial Siregar
Alumni STIK-P Medan. Menjadi jurnalis sejak 2008 dan sekarang redaktur untuk portal mistar.id

Related Articles

Latest Articles