28.6 C
New York
Tuesday, July 16, 2024

Budaya Politik Indonesia, dari Kutu Loncat Hingga Jalan Pintas Selebritas

Medan, MISTAR.ID

Budayawan dan pemerhati kebijakan publik, Handoko F Zainsam menyampaikan, bahwa budaya politik di Indonesia terbilang unik, keberagaman sosial masyarakatnya memunculkan pola tersendiri dalam orientasi politiknya. Tidak ada spesifikasi khusus yang bisa mewakili.

“Kesenjangan antar individu dari sisi pendidikan, dan ekonomi memunculkan psikologis yang tidak umum dalam sistem politik Indonesia. Akibatnya, lemahnya demokrasi dan mencuatnya budaya negatif dalam perpolitikan kita,” ujarnya kepada mistar.id, Sabtu (13/7/24).

Handoko melanjutkan, akibatnya muncul beberapa budaya negatif seperti fenomena meraup suara lewat jalan pintas melalui selebritas, dan kutu loncat. Banyak faktor yang menyebabkannya.

Baca juga:Silaturahmi Politik, PKS Sumut: Semua Balon Punya Peluang yang Sama untuk Kami Usung

“Salah satu kelemahan demokrasi, tidak ada aturan persis mengenai hak sebagai warga negara untuk maju secara keilmuan, paling hanya sebatas administrasi dan teknis. Jadi bagi calon pemimpin tidak harus bisa memahami politik, filsafat, kebijakan publik, dan sebagainya,” sebutnya.

Lulusan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) ini melanjutkan, karena pemegang hak suara adalah individu, masyarakat secara langsung, resikonya adalah banyak partai politik (parpol) mengambil pola shortcut, jalan pendek dengan mencari tokoh yang populis.

“Karena dengan calon yang populis ada banyak keuntungan, yaitu biaya kampanye rendah karena tidak perlu lagi melakukan personal branding pada calon. Karena sudah dikenal luas,” katanya.

Sayangnya menurut Handoko, tidak semua selebritas memiliki kemampuan untuk memanajerial pemerintahan, dilihat dari yang ramai sekarang dalam konteks pemilihan kepala daerah, entah itu gubernur, wali kota, maupun bupati.

Baca juga:Silaturahmi Politik dengan PKS, Ketua DPD PDIP: Sumut Bisa Dibangun Lewat Kebersamaan

“Resikonya akan banyak sekali kebijakan kebijakan yang kurang berpihak kepada masyarakat, karena akan cenderung ke kelompoknya, itu salah satu konsekuensinya,” tambahnya.

Selebritas dan Sistem Kaderisasi

Mengenai pola perekrutannya, apakah partai yang mencari atau selebritas yang menyodorkan diri, menurut Handoko, tidak ada aturan baku mengenai itu.

“Mereka saling sinergi saja, seperti gayung bersambut, selebriti ingin menduduki jabatan publik maka ia harus masuk ke politik lewat partai. Sebaliknya kalau partai ingin menambah suara instan mereka butuh selebritas. Jadi simbiosis mutualisme,” ujar pria berambut gondrong ini.

Satu catatan, bagi Handoko, dengan banyaknya publik figur yang masuk parpol, bahkan beberapa maju sebagai calon kepala daerah, ini menandakan sistem kaderisasi di dalam partai tidak berjalan baik.

Baca juga:Hadir di UMSU, Mendag Zulhas Ingin Kader Muhammadiyah Sukses Dalam Berpolitik

“Yang terpenting sekarang adalah kaderisasinya. Siapa pun dan dengan latar belakang apapun, kalau sistem kaderisasi berjalan baik akan mencetak calon pemimpin yang baik pula,” sebutnya.

Pria yang juga pernah menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) di beberapa majalah ini menerangkan, bahwa resiko lainnya dengan masuknya selebritas ke parpol dan mudahnya meniti karir perpolitikan bermodal popularitas, disinyalir akan menimbulkan gesekan dengan kader murni yang bersusah payah merintis dari bawah.

“Siapapun tidak ada yang suka ketika jalannya (hasil jerih payah) dipotong, apalagi dipotong oleh orang baru yang tidak memiliki ‘kemampuan’,” ungkapnya.

Related Articles

Latest Articles